Selasa, 19 Juli 2011

6 tips puntuk menjadi pengusaha bermodal Dengkul

1. Pilih Pekerjaan yang Benar-Benar Disukai.
Tujuan Anda bekerja freelance agar bisa bekerja tanpa tekanan dan bebas stres. Hasilnya? Tak perlu ditanya lagi. Selain mendapatkan penghasilan yang lumayan, Anda pun bisa menikmati pekerjaan tersebut. Nah, alangkah baiknya bila Anda memilih pekerjaan yang disukai atau memang menjadi hobi Anda.

2. Pilih Pekerjaan yang Benar-Benar Dikuasai.
Ada masanya, apa yang Anda sukai bukanlah menjadi sesuatu yang bisa Anda lakukan dengan baik. Saat menentukan pekerjaan yang akan ditekuni, Anda pun juga harus mempertimbangkan hal ini.

Seperti contoh, bagi Anda yang memiliki bakat berjualan, lebih baik Anda menjadi pedagang ketimbang desainer web yang sebenarnya lebih Anda sukai walaupun tak begitu menguasainya. Tetapi, Anda juga harus ingat saat memilih profesi tersebut, tidak ada unsur keterpaksaan di dalamnya.

3. Terus Belajar dan Pantang Menyerah.
Kunci utama kesuksesan seorang freelancer (sebutan untuk para pekerja lepas) salah satunya adalah kemauan untuk terus belajar dan terbuka terhadap hal-hal baru yang dapat menunjang pekerjaannya. Karena, hal ini pada dasarnya menyangkut kepercayaan terhadap orang lain.

Selain itu, sikap pantang menyerah juga dibutuhkan. Terutama ketika Anda sedang menemui kebuntuan berusaha. Cara mengatasinya dengan mencari berbagai alternatif promosi atau ide-ide usaha baru yang dapat membangkitkan usaha Anda.

4. Disiplinkan Diri Sendiri.
Menjadi freelancer sudah pasti tidak terikat dengan jam kerja yang monoton dan selalu santai. Namun bukan berarti Anda bisa seenaknya dan meremehkan pekerjaan Anda begitu saja.

Sikap disiplin mutlak dimiliki, karena hanya dengan kedisiplinan, pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik. Tanpa kedisiplinan, seorang pengusaha tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.

5. Perluas Jaringan Kerja.
Tak peduli apapun pekerjaan lepas Anda, mempunyai jaringan yang luas adalah suatu keharusan. Tanpa ada jaringan kerja, akan sangat sulit bagi Anda untuk bertahan di tengah persaingan.

Bagi seorang freelancer, kontinuitas kerja berarti juga makin bertambahnya pundi-pundi uang ke kantong mereka. Segepok dana pun automatis akan deras mengalir ke rekening Anda, selama Anda konsisten dengan bidang usaha yang Anda pilih.

6. Pandai Berpromosi.
Bukan hanya sekadar mempromosikan barang dagangan saja, Anda pun juga harus bisa mempromosikan diri sendiri di depan para klien. Suksesnya promosi yang dilakukan dapat dilihat dari seberapa besar jaringan kerja Anda peroleh.

Saat ini, cara berpromosi bisa dilakukan dengan cara-cara yang tidak melulu mengeluarkan uang banyak. Salah satunya dengan mengikuti milis, komunitas pertemanan di dunia maya, dan yang paling sederhanaya yakni promosi gratis dari mulut ke mulut.

Tidak begitu sulit bukan dalam mendalami suatu usaha setelah Anda melirik tips di atas. Dengan keteguhan dan niat di dalam diri Anda, semua hal yang dilakukan pasti akan terlaksana.
aya siswa sma samaster akhir, mumgkin bulan depan sudah jadi mahasisiwa. Saya berkeinginan menjadi seorang pengusaha sukses, tapi saya bingung bagaimana carannya ,dan  harus memulai dengan usaha apa ?

Jawaban

Saudara Pandu yang dirahmati Allah. Beruntung sekali saudara yang masih sangat muda sudah punya cita-cita untuk jadi pengusaha dan waktu yang tepat adalah SEKARANG !! Pertanyaan yang saudara ajukan sudah sangat sering saya dengar, tapi baiklah akan saya uraikan bagaimana cara berfikir yang benar (sebagai basic) untuk menjadi pengusaha:
1.Mengapa orang tidak juga menjadi pengusaha meskipun keinginan itu sudah terpendam puluhan tahun dalam dirinya? Jawabannya bisa beragam tapi bisanya seperti ini: tidak tau mau mulai dai mana? Tidak berani alias takut gagal? Tidak punya modal? Bingung mau bisnis apa? Ngak ada yang dukung? dan sejuta alasan lainnya. Nah untuk mengatasi orang semacam ini yang dibongkar adalah cara berfikinya, mind setnya, paradigmanya...(Bab 1 sd 14 buku saya Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian jilid 2)
2.Setelah semangat dan terbakar untuk jadi pengusaha, biasanya dia akan berkata lagi,"Tapi saya mau bisnis apa ya? (dijawab di bagian 3 kalau ngak salah bab 15 buku yang sama)
3.Setelah tau mau bisnis apa dia akan berkata lagi,"Tapi saya ngak punya modal?" (saya ajarkan di bab 16, Delapan Cara Bisnis Tanpa Modal).
4.Setelah modal ada biasanya bisnis bisa jalan, tapi kembali mereka mengeluh lagi,"Sudah tiga tahun kok bisnis saya gini-gini aja Pak?" (Saya jawab di bab 17 dengan ilmu dari guru saya Brad Sugars - LEVERAGE: Bagaimana meningkatkan omzet dan profit bisnis 5.300% dalam waktu 5 bulan)
5.Promosi dan Marketing yang efektif juga saya ajarkan di bab 18
6.Tapi timbul masalah lagi? Meskipun cabang banyak, omzet naik tapi duitnya ngak tau kemana ya? Biasanya mereka tidak bisa membedakan kantong kanan dan kantong kiri. Uang bisnis dan uang belanja dapur. Makanya di bab 19 saya mengajarkan tentang trik dan tips keuangan singkat.
7.Bisnis ngak cuma kita seorang ada banyak persaingan. Oleh karena itu bab 20 tentang persaingan jadi sangat penting diketaui agar kita bisa memenangkan kompetisi dalam bisnis yang semakin ketat.
8.Kadang dalam persaingan kita harus kalah dan bangkrut. Nah ilmu bangkit kembali setelah bangkrut ini tidak dimiliki semua orang. Hanya the real champion saja yang memilikinya. Ulasannya di bab 21.
9.Bisnis yang baik dan maju tentu saja bukan single fighter. Dibutuhkan tim yang handal. Ulasannya di bab 22
10.Terakhir saya mengajarkan membuat sistem bisnis sehingga bisnis bisa jalan sementara kita sebagai pemilik bisa jalan-jalan
Semoga Bermanfaat.
Belajar Lagi Lebih banyak tentang bisnis dengan mengklik disini

Senin, 04 Juli 2011

Atau Batu? PDF Cetak E-mail
Oleh redaksi   
Minggu, 28 Maret 2010 02:37

Imam Bukhori dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rosul saw bersabda: "Siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam” (HR. Bukhori & Muslim)
Kualitas seseorang, salah satunya bisa terlihat dari kemampuan menjaga lidahnya. Sebaik-baik perkataan adalah perkataan yang sanggup mengatakan kebenaran.
Prioritas pertama dalam hadits di atas bagi orang beriman adalah berbicara yang haq, berbicara yang baik-baik atau tentang kebaikan sesuai tuntunan syariah. Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar” (QS. Al-Ahzab: 70)
Sebaliknya orang yang rendahan dalam berbicara, biasanya selalu mengeluh, mencela dan menghina. Begitu pula orang yang dangkal dalam berbicara, orang tersebut sibuk menyebutkan kehebatan tentang dirinya dan juga jasanya. Hampir mirip dengan gelas yang kosong, sebuah gelas yang kosong maunya diisi terus, orang yang kosong dari harga diri keinginannya dihargai.
Oleh karena itu, bila kita tidak mampu berbicara yang baik-baik maka hadits Nabi saw memberikan pilihan yang kedua yaitu Diam.
Dalam kehidupan sehari-hari, ada ungkapan yang menyebutkan “Diam adalah Emas”, artinya dengan diam itu jadi mulia. Tapi faktanya ada pula dengan diam malah menjadi masalah.
Memang, banyak istilah yang melibatkan kata ‘diam’ dengan konotasi yang berbeda-beda. Misalnya; Diam adalah Emas. Diam adalah Keterbatasan Intelektual, Diam adalah Cuek, dan yang paling ringan persoalannya adalah Diam karena Sakit Gigi atau Diam karena Sariawan.
Kapan diam adalah emas? Diam dalam arti tidak berbicara, dalam kondisi tertentu memang diperbolehkan dan bahkan diperintahkan. Yang diperintahkan misalnya, pada saat Khotib Jum’at naik mimbar, makmum dilarang berbicara sepatah kata pun. Yang diperbolehkan misalnya, kalau ada seorang pemuda melamar seorang gadis kepada orang tuanya, maka diamnya gadis tersebut adalah Emas bagi si pemuda, karena diamnya seorang gadis yang dilamar adalah indikasi dari persetujuannya.
Yang mempunyai implikasi cukup berat dan meluas adalah diam karena keterbatasan intelektual atau diam karena kecuekan. Dan merupakan bencana besar apabila diam jenis ini justru menimpa kaum muslimin, terlebih lagi kalangan elit muslim yaitu para ulama, kaum cendekiawan serta kalangan politikus muslim. Karena mendiamkan apa yang seharusnya tidak didiamkan merupakan awal dari membusuknya berbagai persoalan, tatanan dan aturan.
Demikian pula diam karena ketidakpedulian. Cukup banyak persoalan masyarakat dan negara yang mengharuskan kaum muslimin peduli dan jangan diam. Kemaksiyatan yang merajalela, ekonomi ribawi, Sistem Politik tidak islami dan banyak aturan-aturan Allah dicampakkan sehingga melahirkan krisis multi dimensi. Hal ini menuntut kita lantang menyuarakan kebenaran kemudian wajib memperjuangkan Islam secara total.
Rosulullah saw menegaskan: “Siapa saja yang berdiam diri dari kebenaran, maka dia adalah syetan bisu” (al Hadits).
Allah SWT dalam Al Qur’an Suroh Ali Imron: 104 memberikan predikat khoiru ummah pada kita kaum muslimin, sebagai umat terbaik karena kita diserahi tugas yang mulia yang harus diwujudkan yaitu sebagai pengemban dakwah yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Maka diam dalam aspek ini bukanlah Emas, tapi Batu…! Wallahua’lam bi as-showab. Oleh: Akhiril Fajri (At-tafkir Institute Lampung)

Diam itu Emas

Salah satu praktek yang harus ditempuh para sufi dalam perjalanan mereka mendekati Tuhan disebut dengan Al-Shumt. Dalam praktek ini, seorang sufi berusaha mengendalikan lidahnya dengan membiasakan diri untuk banyak diam dan mengurangi pembicaraan.
Dalam kitab Ihyâ ‘Ulûmuddîn, Imam Al-Ghazali menceritakan seorang saleh yang mempunyai kebiasaan untuk bicara hanya setelah salat Isya saja. Kebiasaan ini ia kerjakan selama lebih dari empat puluh tahun. Jika tidak ada hal yang sangat perlu untuk ia bicarakan, ia lebih memilih untuk diam. Dengan ini ia mengurangi pembicaraannya hampir pada tingkat nol.
Menurut Sayyid Haidar Amuli, jika kita menutup mulut untuk tidak bicara, itu berarti kita mengizinkan hati kita untuk bicara lebih banyak. Sebenarnya kita memiliki hati yang selalu mengajak kita berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah mengecam perilaku-perilaku kita yang kurang baik. Seperti disebutkan dalam Al-Quran: Sungguh aku bersumpah demi hati yang selalu mengecam. (QS. Al-Qiyamah: 2)
Hati bisa berbicara. Ketika mulut seseorang terlalu banyak bicara, ia tidak akan dapat mendengar suara hati nuraninya. Suara hatinya tersumbat oleh riuhnya suara-suara mulutnya sendiri.
Tuhan memberikan isyarat-isyarat gaib-Nya kepada kita melalui hati kita. Jika kita terlalu banyak bicara, isyarat-isyarat gaib itu akan terhalang. Dalam Al-Quran, Allah swt menun-jukkan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang berbicara: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu membicarakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Al-Shaf: 3) Meskipun demikian, dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa kemampuan bicara adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah seperti dinyatakan dalam surat Al-Rahman: Tuhan Yang Mahapemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia dan mengajarnya pandai berbicara. (QS. Al-Rahman: 1-4)
Masih dalam Ihyâ Ulûmuddîn, Imam Al-Ghazali mengelompokkan pembicaraan kepada empat macam. Pertama, pembicaraan yang hanya mengandung bahaya saja dan tidak memiliki manfaat. Kedua, pembicaraan yang mempunyai manfaat dan tidak di dalamnya tidak mengandung bahaya. Ketiga, pembicaraan yang selain ada manfaatnya juga ada bahayanya. Keempat, pembicaraan yang tidak mengandung bahaya dan tidak memiliki manfaat.
Pembicaraan yang banyak mengandung bahaya dan tidak memiliki manfaat jelas harus kita hindari. Kita pun harus menghindari pembicaraan yang tidak ada manfaatnya dan tidak ada bahaya-nya. Pembicaraan seperti itu adalah pembicaraan yang berlebihan. Nabi saw bersabda, “Manusia yang paling baik adalah manusia yang memberi-kan kelebihan hartanya dan menahan kelebihan omongannya.”
Jenis pembicaraan yang ketiga, yaitu pembicaraan yang selain ada manfaatnya juga ada bahayanya itu juga lebih baik kita hindari. Sesuai satu dalil dalam Ushul Fiqh yang menyatakan bahwa bahwa bila di dalam satu unsur terdapat bahaya sekaligus manfaat, maka unsur itu harus kita tinggalkan. Misalnya, di dalam rokok terkandung manfaat dan bahaya sekaligus. Yang harus lebih dahulu kita perhatikan adalah bahaya yang terdapat dalam rokok itu. Karena itu, kita tinggalkan rokok. Demikian pula halnya dengan minuman keras. Al-Quran bercerita tentang manfaat yang ada dalam minuman keras namun bahaya yang terdapat di dalamnya lebih besar: Katakanlah pada keduanya itu (khamar dan judi) terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. (QS. Al-Baqarah: 219)
Imam Al-Ghazali hanya memperbolehkan satu jenis pembicaraan saja; yaitu pembicaraan yang hanya memiliki manfaat dan tidak mengan-dung bahaya.
Keutamaan Diam
Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang diam, dia pasti selamat.” Sementara pada waktu lain, Rasulullah saw berkata, “Diam itu kearifan tetapi sangat sedikit orang yang melakukannya.”
Hadis lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Sufyan menceritakan seseorang yang datang menemui Rasulullah saw. Orang itu meminta, ”Wahai Rasulullah, ceritakan kepadaku tentang Islam, yang setelah engkau tiada aku tidak akan bertanya lagi kepada siapa pun.” Nabi menjawab, ”Katakanlah: Kamu beriman kepada Allah lalu beristiqamahlah kamu.” Orang itu bertanya lagi, ”Ya Rasulallah, dari hal apa aku harus berhati-hati?” Rasulullah saw menjawab dengan isyarat tangan yang menunjuk kepada lidahnya.
Uqbah bin Amir pernah bertanya kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulallah, apakah arti dari keselamatan itu?” Nabi saw menjawab, ”Kendalikanlah lidah kamu; jadikanlah rumahmu sebagai tempat yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman dengan kehadiran orang-orang saleh;, dan menangislah akan kesalahan kamu.”
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin menjaminkan kepadaku apa yang ada di antara kedua gerahamnya dan apa yang ada di antara kedua kakinya, aku jaminkan bagi dia surga.”
Hadis yang lain meriwayatkan Rasulullah saw berkata, ”Tidak akan lurus iman seseorang sebelum lurus hatinya dan tidak akan lurus hati seseorang sebelum lurus lidahnya. Dan tidak pernah masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari gangguan lidahnya.” Orang yang lidahnya senang mengganggu tetangganya diharamkan masuk surga. Di zaman Nabi, suatu hari dilaporkan kepada Nabi perihal seorang perempuan yang kerjanya setiap hari berpuasa dan setiap malam salat tahajud, tetapi perempuan ini sering menyakiti hati tetangganya dengan lidahnya. Rasulullah saw mengatakan, “Dia berada di neraka.”
Seorang Arab dari dusun pernah datang menemui Nabi saw seraya berkata, ”Wahai Rasulullah, tunjukanlah aku kepada satu amal yang bisa memasukkan aku ke dalam surga.” Nabi berkata, ”Berikanlah makanan kepada yang lapar, berikanlah minuman kepada yang dahaga, perintahkan kebaikan, dan larang keburukan. Jika engkau tidak mampu melakukan itu semua, tahan lidahmu kecuali untuk yang baik saja.”
Sebuah hadis yang lain menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Amal yang paling ringan dilakukan tubuh kita adalah diam.” Diam adalah satu-satunya amal yang bentuknya tidak sulit untuk dikerjakan tetapi dalam prakteknya susah untuk dilakukan, padahal diam merupakan amal saleh. Dalam riwayat lain, Rasulullah berkata, ”Selamatnya manusia adalah karena ia memeli-hara lidahnya. Ketergelinciran lidah lebih ber-bahaya daripada luka-luka di dalam tubuh.” Ketergelinciran lidah adalah kebinasaan yang paling berat.
Abdullah bin Mas’ud berkata, ”Demi Allah Yang tiada Tuhan kecuali Dia, tidak ada yang kita perlukan untuk kita penjarakan selama-lamanya selain lisan kita.” Thawus Al-Yamani, salah seorang sufi besar, pernah berkata, “Lidahku adalah binatang buas. Kalau aku lepaskan dia, dia akan memakanku.” Wahab bin Munabbih menyebut-kan, ”Wajiblah buat orang yang berakal untuk bertindak arif dalam mengetahui keadaan zaman-nya dan menjaga lisannya serta memperhatikan urusannya.” Seorang tokoh sufi lain, Hasan Al-Bashri, berkata, ”Belum sempurna agama seseorang sebelum dia menjaga lisannya.”
Dalam Nahjul Balâghah, Imam Ali berkata, ”Al-lisân mîzânul insân. Lidah itulah ukuran manusia.” Dalam riwayat lain, Imam Ali menyebutkan, ”Lisan itu adalah penerjemah hati.” Imam Ali juga berkata, ”Betapa banyaknya darah tertumpah karena lidah; betapa banyaknya manusia yang binasa karena lidahnya; dan betapa banyaknya ucapan yang menyebabkan kamu kehilangan kenikmatan. Maka simpanlah perben-daharaan lidahmu sebagaimana kamu menyim-pan perbendaharaan emas dan uangmu.” Ucapan Imam Ali yang lain tentang hal ini adalah, “Kecela-kaan manusia karena lidahnya dan keselamatan manusia terletak dalam pengendalian lidahnya”
Kejahatan Lidah
Imam Al-Ghazali menyebutkan beberapa kejahatan yang dapat dilakukan oleh lidah kita. Hanya satu cara yang bisa kita lakukan untuk menghindari kejahatan lidah, yaitu dengan jalan diam.
Kejahatan lidah yang pertama adalah berbicara hal-hal yang tidak perlu. Nabi saw bersabda, ”Seseorang tidak dianggap mukmin sebelum dia menghindari segala sesuatu yang tidak perlu baginya.” Ciri seorang muslim yang baik ialah meninggalkan apa yang tidak ber-manfaat darinya.
Anas, seorang sahabat Nabi, bercerita; Suatu hari pada Perang Uhud, aku melihat seorang pemuda yang mengikatkan batu ke perutnya lantaran kelaparan. Ibunya lalu mengusap debu dari wajahnya sambil berkata, ”Semoga surga menyambutmu, wahai anakku.” Ketika melihat pemuda yang terdiam itu, Nabi berkata, ”Tidakkah engkau ketahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tidak ingin berbicara yang tidak perlu atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya.” Dalam riwayat lain, Nabi bersabda, ”Kalau engkau temukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah.”
Kejahatan kedua adalah pembicaraan yang berlebihan. Kelebihan pembicaraan dapat terjadi bila kita ingin menunjukkan kefasihan pembicaraan kita kemudian kita hias pembicaraan kita dengan hal-hal yang tidak perlu, agar orang lebih tertarik pada omongan kita. Penyebab kelebihan pembicaraan juga adalah adanya sikap ingin menunjukkan kepada orang lain tentang sesuatu yang sebenarnya tidak pantas untuk kita tunjukkan. Terkadang kita sering berbicara kepada orang tentang sesuatu yang sebenarnya orang lain tidak berkepentingan dengan hal itu. Tetapi lidah kita gatal untuk menceritakannya pada orang lain.
Banyak berbincang-bincang atau mengobrol juga termasuk ke dalam kategori pembicaraan yang berlebihan. Al-Quran menyebutkan, ”Tidak ada kebaikan pada banyaknya suatu obrolan kecuali dalam per-bincangan itu ada perintah untuk bersedekah, berbuat baik, atau perintah untuk mendamaikan sesama manusia.” (QS Al-Nisa: 114) Dalam suatu hadis disebutkan, ”Berbahagialah orang yang menahan kelebihan pembicaraannya dan membelanjakan kelebihan hartanya.”
Kejahatan ketiga adalah mengobrol tentang hal-hal yang batil. Di hari akhirat nanti, terjadi perbincangan antara para penghuni surga dan para penghuni neraka. Ahli surga bertanya kepada ahli neraka, “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke neraka?” Para ahli neraka men-jawab, “Dahulu kami tidak pernah melakukan salat, tidak memberi makan kepada orang miskin, dan kami biasa mengobrolkan hal-hal yang batil dengan orang-orang yang membicarakannya.” (QS. Al-Mudatsir: 42-45).
Kejahatan lidah yang keempat adalah berdebat. Debat memang berguna bagi murid yang sedang belajar. Tetapi bagi seorang alim, debat adalah sesuatu yang harus ia hindari. Seringkali lidah kita gatal untuk mendebat seseorang. Kita menikmati perdebatan karena dengan perdebatan kita dapat memuaskan nafsu binatang buas yang ada pada diri kita. Sifat binatang buas ini mendorong kita untuk menga-lahkan, menghancurkan, dan membuat kita lebih tinggi daripada orang lain.
Nabi berkata, ”Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, walaupun perdebatan itu benar, maka Tuhan akan berikan kepadanya tempat paling tinggi di surga. Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan yang batil, maka Tuhan akan bangunkan baginya rumah di taman-taman surga.” Dalam riwayat lain disebutkan Nabi bersabda, ”Janganlah engkau debat saudaramu; janganlah engkau lawan dia; dan janganlah engkau menjanjikan sebuah janji kepadanya lalu kau langgar janji itu.”
Kejahatan lidah yang kelima adalah perkataan yang di dalamnya terkandung unsur permusuhan, kedengkian, menyakitkan, serta menjatuhkan harga diri orang lain. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari; Suatu saat ada sahabat yang mencemooh Imam Ali kw karena kepalanya yang tidak berambut. Orang itu berkata, ”Hai, lihat! Sudah datang Si Botak!” Mendengar ucapan itu, Nabi berkata, ”Janganlah kau kecam sahabat-sahabatku.”
Kejahatan keenam adalah melebih-lebihkan pembicaraan untuk menunjukkan kefasihan dalam berbicara. Diriwayatkan dari Sayyidah Fatimah as, Nabi saw pernah bersaba, ”Sejelek-jeleknya umatku ialah orang yang di pagi harinya banyak memperoleh kenikmatan, lalu ia makan dan berpakaian secara berlebihan, dan ia banyak melebih-lebihkan pembicaraannya.”
Kejahatan lidah yang ketujuh adalah lidah yang sering mengucapkan kata-kata kotor. Rasulullah saw bersabda, ”Bukanlah seorang mukmin orang yang kata-katanya kotor, kasar, menusuk, dan melaknat.” Kata-kata kotor adalah kata-kata yang apabila kita mengucapkannya kita dianggap tidak sopan. Sedangkan kata-kata kasar adalah kata-kata yang sebaiknya tidak kita ucap-kan karena ada kata-kata lain yang jauh lebih halus. Seorang mukmin harus bisa menyampai-kan makna ingin diutarakannya dengan bahasa yang halus.
Di sisi lain, Islam pun memuji orang-orang yang berkata jujur dan apa adanya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari. Rasulullah saw bersabda, “Di bawah kolong langit ini, di atas bumi yang hijau ini, tidak ada lidah yang lebih jujur daripada lidah Abu Dzar.” Tetapi Abu Dzar juga pernah ditegur oleh Rasulullah saw karena terlalu jujur dalam berkata. Suatu saat, Abu Dzar bertengkar dengan sahabat Amar bin Yasir. Amar adalah orang yang berkulit hitam karena ada garis keturunan dari ibunya yang berkulit hitam. Ketika bertengkar, Abu Dzar berkata kepada Amar, “Hai, anak perempuan berkulit hitam!” Rasulullah saw mendengar hal itu. Ia menegur Abu Dzar, “Celakalah kamu, Abu Dzar! Tidak ada kelebihan orang berkulit putih di atas orang berkulit hitam; (tidak ada kelebihan) orang Arab di atas orang ‘Ajam.” Mendengar ucapan Rasulullah saw tersebut, Abu Dzar langsung merebahkan tubuhnya. Ia letakkan pipinya di atas tanah lalu memerintahkan Amar untuk menginjak kepalanya sebagai tebusan ucapannya tadi.
Kejahatan lidah yang kedelapan adalah melaknat. Sementara kejahatan yang kesembilan adalah lebih banyak bernyanyi daripada membaca Al-Quran. Al-Ghazali menyebutkan ada nyanyian-nyanyian yang diperbolehkan dalam Islam untuk kita nyanyikan. Tapi sebagian besar nyanyian itu tidak bermanfaat dan melalaikan kita dari Allah. Nyanyian yang baik adalah nyanyian yang di dalamnya ada ungkapan-ungkapan kerinduan kepada Allah dan terkandung pujian-pujian untuk Allah swt. []
Petikan ceramah KH. Jalaluddin Rakhmat pada Paket Kuliah Tasawuf; Meraih Cinta Ilahi, yang diselenggarakan oleh Al-Tanwir Spiritual Studies, Yayasan Muthahhari, pada 13 Desember 1999. Transkripsi oleh Sugiarto.

Al-Quran tak pernah menyebut kata kemerdekaan. Istilah itu memang punya makna spesifik dalam sejarah manusia. Ketika masyarakat terdiri dari dua macam anggota —orang merdeka dan budak— merdeka berarti bebas dari perbudakan. Al-Quran menyebut kata “budak” dan “tuan”, “’abd” dan “mawla”.
Ketika dunia terdiri dari bangsa yang menjajah dan bangsa yang terjajah, merdeka berarti melepaskan diri dari penjajahan bangsa lain. Kemerdekaan menjadi sebuah konsep dalam hubungan internasional. disebut merdeka karena ia melepaskan diri dari kekuasaan Belanda. Kata “bangsa” juga didefinisikan sebagai satu kelompok besar manusia —apa pun ras dan etniknya— yang mempunyai penjajah yang sama.
Al-Quran tak menyebut bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Tetapi Al-Quran berkisah tentang kelompok-kelompok manusia —boleh jadi terdiri dari satu bangsa atau bangsa-bangsa lain yang berlainan— yang berhubungan satu sama lain dengan sistem yang tidak adil. Alih-alih menyebut penjajah dan yang dijajah, Al-Quran menyebut “alladzînastakbaru” dan “alladzînastudh’ifu”. Ada kelompok yang arogan dan penindas serta ada kelompok yang dilemah-kan atau ditindas. Karena bertahan hidup dalam sistem yang tidak adil, keduanya disebut sebagai orang-orang zalim. Penduduk negeri mana pun, yang mempertahankan sistem yang zalim, akan dihempaskan dalam pengadilan Tuhan. Keduanya nanti akan saling menyalahkan.
“Sekiranya kamu melihat peristiwa dahsyat ketika orang-orang zalim dihadapkan pada Tuhan mereka sambil mereka saling melem-parkan omongan satu sama lain. Berkata orang-orang yang tertindas kepada mereka yang arogan: Sekiranya tidak karena kamu, tentulah kami termasuk orang-orang yang beriman. Berkata para penguasa arogan kepada orang-orang tertindas: Betulkah kami yang menyimpangkan kamu dari petunjuk setelah petunjuk itu datang kepada kamu? Justru kamu sendiri yang berdosa. Berkata orang-orang yang tertindas kepada penguasa yang arogan: Tidak, bukankah kamu yang membuat rekayasa siang dan malam ketika kalian menguasai kami dengan memerintahkan kami ingkar kepada Tuhan dan mengangkat saingan-saingan Tuhan.
Kedua belah pihak merasakan penyesal-an ketika mereka melihat azab dan kami jadikan belenggu di atas kuduk orang-orang kafir. Mereka tidak dibalas kecuali dengan apa yang mereka kerjakan.
Di depan Tuhan, orang-orang tertindas mengadu kepada Tuhan. Mereka mempersalah-kan para penguasa arogan untuk dosa-dosa mereka. Sebaliknya, para penindas menolak tuduhan itu dengan mengatakan bahwa kebenaran sudah datang kepada mereka. Di sini Al-Quran tidak menjelaskan penindasan dengan cara Marxian, yakni menimpakan semua kesalahan kepada pihak penindas.
Al-Quran tidak membangkitkan kesadar-an kelas. Baik penindas maupun orang tertindas, bertanggung jawab atas sistem yang tidak adil. Penindas bersalah karena arogansinya, kekayaan-nya, dan kekuasaannya. Orang tertindas bersalah karena menerima penindasan itu dengan tidak melakukan perlawanan. Dengan begitu, penindas secara leluasa melanjutkan penindasannya dan orang-orang yang ditindas tidak bangkit menumbangkan sistem yang korup. Para penguasa bebas merancang, merekayasa, mendesain berbagai peristiwa untuk menipu orang-orang tertindas. Pada gilirannya, kaum mustadhafin tak pernah mau berpikir kritis, sehingga dengan mudah digiring ke dalam rekayasa para penindas.”
Inilah penjelasan Al-Quran untuk negara-negara yang hidup dalam sistem yang zalim. Karena kasih sayangnya, Tuhan selalu mengirim-kan para pembaharu, para pemberi peringatan. Sayangnya, kaum mustakbirin menolak mereka dengan membanggakan kekayaan dan para pengikutnya; kaum mustadhafin mencurigai mereka karena rekayasa kaum mustakbirin.
Al-Quran juga menyebutkan, “Dan kami tidak mendatangkan kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan kecuali orang-orang yuang hidup mewah di negeri itu akan berkata kepadanya: Sesungguhnya kami menolak misi kamu. Seraya mereka berkata: Kami lebih banyak kekayaan dan anak buah dari kamu dan kami tidak akan disiksa. Katakan sesungguhnya Tuhanku meluaskan dan menyempitkan rezeki kepada siapa yang dikehendakinya. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Para pemberi peringatan itu dahulu adalah para nabi, yang salah satu tugasnya ialah “…membuang beban-beban yang menghimpit mereka dan melepaskan belenggu-belenggu yang memasung mereka.” (QS. Al-A’raf: 157) Perjuangan kemerdekaan bukan hanya mengusir penjajah asing, atau menghancurkan orang-orang kaya, atau menggantikan satu rezim dengan rezim yang lain. Perjuangan kemerdekaan adalah penciptaan suatu kondisi ketika orang-orang yang kaya dan berkuasa bekerja sama dengan orang miskin dan lemah membangun tatanan sosial yang adil. Kedua pihak berjuang —dalam istilah Al-Quran— “dalam jalan Allah dan jalan mustadhafin.” Dengan begitu, mereka menjadi kelompok yang mengemban misi Ilahi: melindungi dan menyelamatkan bangsa dari sistem yang menindas.
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan di jalan kaum mustadhafin—yakni laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tertindas— yang berkata: Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri yang penduduknya orang zalim. Jadikan bagi kami dari sisi-Mu pelindung dan berilah kami dari sisi-Mu pembela.” (QS. Al-Nisa: 75)
Mereka yang menjerit memohonkan kehadiran kaum pembela itu bukan hanya orang-orang tua kita di zaman Belanda, tetapi juga penduduk Indonesia pada zaman Orla ketika mereka ramai-ramai memuja Soekarno dan menahan lapar demi revolusi; juga bangsa Indonesia pada zaman Orba ketika tanah mereka digusur, anak-anak mereka diculik, dan keamanan hidup mereka diancam; saya takut, juga bangsa Indonesia kini yang memperingati kemerdekaan dengan perut yang lapar, jiwa yang frustasi, dan hati yang mencemaskan hari esok. Pemerintahan berulang kali berganti, tetapi kita masih juga termasuk kaum mustadhafin. []
Kang Jalal Menjawab
Tentang Harakah dan Fase Mekah
Bagaimana Bapak menanggapi maraknya rekrutmen Harakah Darul Islam (DI)? Pada tahun 1977, saya pernah mengikutinya. Komitmennya adalah bergabung selama tujuh tahun. Namun sampai sekarang saya belum pernah keluar dengan maksud untuk tidak memutuskan silaturahim.
Yang saya ketahui, harakah ini janggal. Di antaranya adalah dalil yang menyatakan orang di luar harakah sebagai kafir; boleh mencuri harta orang lain di luar harakah untuk kepentingan harakah; yang diutamakan adalah semangat harakah bukan sentuhan-sentuhan keruhanian; ibadah salat tidak dianggap penting karena sekarang masih berada di Fase Mekah.
Sepanjang yang saya ketahui, para aktivis harakah itu (tanpa mengurangi penghormatan saya kepada mereka) adalah orang-orang yang berniat baik tetapi mereka tidak menemukan jalan yang baik pula.
Orang itu terbagi kepada empat golongan. Pertama, yang berniat benar tetapi jalannya keliru. Kedua, yang berniat keliru tetapi jalannya benar. Ketiga, yang berniat benar dan jalannya juga benar. Keempat, yang berniat keliru dan jalannya pun keliru.
Imam Ali kw pernah berkata kepada kaum Khawarij yang memeranginya, ”Niat kalian benar tetapi jalan kalian keliru.” Saya tidak akan menyebut para pengikut harakah sebagai orang kafir atau batil. Saya hanya akan berkata seperti ucapan Imam Ali di atas.
Lalu apa saja jalan keliru yang ditempuh mereka itu? Di antaranya adalah menganggap orang lain yang berada di luar harakahnya sebagai orang kafir. Kita mau berjuang untuk Islam; tetapi kita mengeluarkan sebagian besar umat Islam dengan menganggap kafir golongan lain. Jelas perjuangan kita tidak akan berhasil. Jika kita ingin berjuang untuk Islam, semestinya kita memasuk-kan orang Islam sebanyak-banyaknya; bukannya mengeluarkan orang Islam, apalagi sampai meng-kafirkannya.
Tujuan dakwah adalah untuk menambah jumlah umat Islam. Meskipun demikian, ada orang-orang yang berdakwah dengan mengurangi jumlah umat Islam. Di antaranya para aktivis harakah itu. Mereka mengurangi jumlah umat Islam secara drastis dengan cara mengkafirkan sesama muslim. Mereka mengurangi umat Islam secara kuantitatif dan secara kualitatif.
Termasuk jalan yang keliru adalah mencuri harta orang lain demi kepentingan harakah. Lalu apa bedanya hal itu dengan pencuri-pencuri lainnya. Orang yang mencuri itu juga adalah demi kepentingan hidupnya sendiri. Bedanya adalah; para pencuri biasa, mencuri tidak dengan menggunakan nama Islam, tetapi para aktivis harakah mencuri dengan menggunakan nama Islam. Betapa malangnya agama Islam karena ia sering digunakan oleh pribadi atau kelompok tertentu sebagai label untuk barang jualan guna melancarkan kepentingan sendiri.
Jalan lain yang keliru adalah meng-anggap salat itu tidak penting dengan alasan kita masih dalam periode Mekah. Padahal ketika Rasulullah saw berdakwah di Mekah, perintah salat sudah turun, seperti yang disebut dalam surat Al-Kautsar ayat 2: Maka dirikanlah salat karena Allah dan berkurbanlah. Di Mekah juga turun ayat lain yang berisi perintah untuk melakukan salat malam: Hai orang yang berselimut, bangunlah untuk salat di malam hari, kecuali sedikit (dari-padanya), yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit (QS. Al-Muzzammil: 1-3). Ayat itu menunjukkan waktu malam yang harus sedikit dipakai untuk tidur dan harus lebih banyak dipakai untuk salat. Jika kita konsisten dengan fase Mekah tersebut, berarti kita salat tidak harus lima waktu; tiga kali pun tidak apa-apa. Tetapi waktu malam harus kita isi dengan salat malam.
Saya tidak yakin apakah kita ini masih dalam fase Mekah. Ada banyak ciri pada fase Mekah yang tidak ada dalam harakah tersebut saat ini. Misalnya, pemimpin pada fase Mekah (yaitu Rasulullah saw) sudah mengungkapkan dirinya sebagai pemimpin dengan terang-terangan. Rasulullah saw hanya tiga tahun berdakwah secara tersembunyi. Bahkan hanya beberapa hari setelah menerima wahyu, Rasulullah saw telah mengum-pulkan keluarganya dan menyatakan dirinya sebagai pemimpin harakah. Pemimpin harakah di saat ini tidak mau berdakwah terang-terangan seperti Rasulullah saw; bahkan ia lebih memilih untuk sembunyi-sembunyi.
Pada dakwah Rasulullah saw di fase Mekah, ada seorang Abu Thalib yang menampak-kan kekafiran tetapi menyembunyikan keislaman-nya. Waktu itu, Abu Thalib adalah penguasa yang dihormati. Beliau memimpin sebuah kabilah dan juga melindungi harakah Rasulullah saw. Pada fase Mekah pun ada seorang Khadijah yang memiliki harta banyak dan digunakan untuk harakah Islam. Dana harakah tidak diambil dari orang miskin. Muhammad saw mengambil harta istrinya untuk digunakan demi kepentingan pengikut harakah. Sementara harakah yang ada sekarang sebaliknya; mengambil harta pengikut untuk digunakan demi kepentingan istrinya. []
a-k
sumber : Prof Jalaluddin Rahmat

Tak Selamanya Diam Itu Emas


Kita pastinya telah lama kita mendengar ungkapan bahwa diam itu emas. Diam dan keheningan itu adalah sesuatu yang dapat memperindah pembicaraan, dan diam pada saat yang tepat justru acapkali membuat seseorang berbicara lebih fasih daripada mereka yang melulu berbicara. Tetapi, kini semakin kusadari bahwa tidak semua diam dan keheningan adalah emas. Pada banyak banyak kesempatan, diam itu justru menjadi sebab dari masalah-masalah besar, dan menjadi pemberi ijin bagi keberlanjutan dari keburukan dan kejahatan.
Karena diam bisa menjadi sebuah bentuk persetujuan, sehingga seseorang yang diam di hadapan kesalahan dan kejahatan sebetulnya sama dengan menyetujui terjadinya kesalahan dan tidak menolak dilaksanakannya kejahatan. Bila kita dinilai dari apa yang kita katakan, mohon kalian sadari bahwa kita juga dinilai dari apa yang kita diamkan.
Bagi daku, keheningan pun bukanlah sebuah pelajaran. Justru yang kita dengar dalam keheningan itu lah yang menjadi pelajaran keemasan. Keheningan bukan lah hanya tidak adanya suara. Keheningan adalah tempat kembali bagi pribadi-pribadi yang berupaya mengerti, karena dalam relung-relung keheningan yang damai itu lah-tergemakan suara-suara yang tak terdengar oleh telinga. Tetapi kita tidak dapat hidup sepenuhnya hanya dalam keheningan. Bahkan mereka yang menemukan kedamaian dan pengertian dalam keheningan, pada akhirnya akan terpaksa meninggalkan dunia senyap itu, karena setelah beberapa saat, pengertian yang terdengar dalam keheningan itu akan tumbuh menjadi bentuk kebisingan yang memekakkan telinga hati.
Terpikirkan olehku, ada ketika ketika daku mengerti, keheningan akan mengusir kita keluar, agar kita sibuk bergaul dalam kehidupan ramah yang saling menguntungkan dengan orang lain, karena sebetulnya untuk itu lah pengertian itu diberikan kepada kita.
Diam kiranya adalah bahasa yang sering kita salah-artikan. Mungkin bagi mereka yang tidak memiliki sesuatu yang bernilai untuk dikatakan, diam adalah penyelamat yang baik.
Tetapi, di hadapan mereka yang menikmati kemenangan atas kelemahan orang lain, diam adalah tanda kebodohan yang bisa diambil keuntungan darinya.
Maka meskipun diam itu emas, kita perlu berhati-hati dalam memilih kepada siapa kita diam, tentang hal apa kita diam, kapan saat kita diam, dan cara yang kita gunakan untuk diam. Bila penguasaan bahasa kita dinilai dari kefasihan dalam menggunakan kata-kata dan tata olah bicara, maka kiranya kita juga perlu menyadari bahwa kita juga dinilai dari kefasihan kita dalam menggunakan tidak adanya kata. Dengannya, hanya diam saja -tidak cukup untuk mencapai kualitas keemasan pribadi kita.
Fasih berbicara adalah juga fasih untuk tidak berbicara. Keheningan sering memperbesar penderitaan karena kecenderungannya untuk mengulangi kejadian. Perhatikanlah, orang sering merasa tersinggung ataupun tak tersinggung pada saat dia mendengar perkataan yang merendahkan, tetapi lama setelah keheningan mengulangi kata-kata itu berkali-kali dalam kesendiriannya.
Kadang ada seseorang yang yang akan makin bersedih setelah menceritakan bagaiman ketidakberuntungannya dalam hidup. Lalu, perhatikanlah bagaimana seorang yang lain menjadi congkak karena senang memutar ulang saat-saat pendek di mana dia menang dan dipuji-puji oleh orang lain. Itu adalah alasan mengapa kita sering menemukan orang-orang kecil dengan kesombongan besar. Sepertinya daku pun sering bertingkah seperti itu. Menyedihkan.
Padahal, seseorang yang telah mencapai kebesaran justru merasa paling takut untuk berada lagi dalam kegembiraan yang menyertai keberhasilannya dulu, karena kegembiraan dari hasil pengulangan seperti itu mudah tumbuh menjadi bangga..bangga..bangga…kebanggaan, dan yang kemudian beralih wajah menjadi kesombongan. Dengan demikian, kehati-hatian dalam mengijinkan apa yang boleh diulangi dalam keheningan adalah kunci menuju kekuatan hati. Bagi hati yang mencari keheningan adalah tempat untuk menemukan. Bagi yang sudah menemukan nilai dari pengertian itu hanya sebanding dengan keikhlasannya untuk menerima. Dan bagi yang sudah menerima nilai dari penerimaannya bergantung pada nilai yang bisa dibangunnya untuk orang lain -dari pengertian itu. Maka diam dan keheningan, hanya bernilai bagi yang merindukan nilai. Daku merindukan nilai keberartian…

Selasa, 21 Juni 2011

sulit, mudah, ridhaNya

Sebuah catatan Salim A. Fillah

satu waktu, sudah lama sekali
seseorang berkata dengan wajah sendu
“alangkah beratnya.. alangkah banyak rintangan..
alangkah berbilang sandungan.. alangkah rumitnya.”
***
aku bertanya, “lalu?”
dia menatapku dalam-dalam, lalu menunduk
“apakah sebaiknya kuhentikan saja ikhtiar ini?”
“hanya karena itu kau menyerah kawan?”
aku bertanya meski tak begitu yakin apakah aku sanggup
menghadapi selaksa badai ujian dalam ikhtiar seperti dialaminya
“yah.. bagaimana lagi? tidakkah semua hadangan ini pertanda bahwa
Allah tak meridhainya?”
***
aku membersamainya menghela nafas panjang
lalu bertanya, “andai Muhammad, shallaLlahu ‘alaihi wa sallam berfikir
sebagaimana engkau menalar, akan adakah islam di muka bumi?”
“maksudmu akhi?”, ia terbelalak
***
“ya. andai muhammad berfikir bahwa banyak kesulitan
berarti tak diridhai Allah, bukankah ia akan berhenti di awal-awal risalah?”
***
ada banyak titik sepertimu saat ini, saat muhammad
bisa mempertimbangkan untuk menghentikan ikhtiar
mungkin saat dalam ruku’nya ia dijerat di bagian leher
mungkin saat ia sujud lalu kepalanya disiram isi perut unta
mungkin saat ia bangkit dari duduk lalu dahinya disambar batu
mungkin saat ia dikatai gila, penyair, dukun, dan tukang sihir
mungkin saat ia dan keluarga diboikot total di syi’b Abi Thalib
mungkin saat ia saksikan sahabat-sahabatnya disiksa di depan mata
atau saat paman terkasih dan isteri tersayang berpulang
atau justru saat dunia ditawarkan padanya; tahta, harta, wanita..”
***
“jika muhammad berfikir sebagaimana engkau menalar
tidakkah ia punya banyak saat untuk memilih berhenti?
tapi muhammad tahu kawan
ridha Allah tak terletak pada sulit atau mudahnya
berat atau ringannya, bahagia atau deritanya
senyum atau lukanya, tawa atau tangisnya”
***
“ridha Allah terletak pada
apakah kita mentaatiNya
dalam menghadapi semua itu
apakah kita berjalan dengan menjaga perintah dan larangNya
dalam semua keadaan dan ikhtiar yang kita lakukan..”
***

Orang Mukmin Tidak Pernah Stres!

Sebagai hamba Allah, dalam kehidupan di dunia manusia tidak akan luput dari berbagai cobaan, baik kesusahan maupun kesenangan, sebagai sunnatullah yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir. Allah Ta’ala berfirman,
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
(Qs Al Anbiya’: 35)

Ibnu Katsir –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “Makna ayat ini yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang beputus asa.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/342, Cet Daru Thayyibah)
Kebahagiaan hidup dengan bertakwa kepada Allah
Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan Hikmah-Nya yang Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama-Nyalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan) hidup bagimu.” (Qs al-Anfaal: 24)
Ibnul Qayyim -semoga Allah Ta’ala merahmatinya- berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin.” (Kitab Al Fawa-id, hal. 121, Cet. Muassasatu Ummil Qura’)
Inilah yang ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya firman-Nya,
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs  ِAn Nahl: 97)
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (Qs Huud: 3)
Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Ibnul Qayyim mengatakan, “Dalam ayat-ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)
Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan ibadah shalat, yang dirasakan sangat berat oleh orang-orang munafik, sebagai sumber kesejukan dan kesenangan hati, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وجعلت قرة عيني في الصلاة
“Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat.” (HR. Ahmad 3/128, An Nasa’i 7/61 dan imam-imam lainnya, dari Anas bin Malik, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ish Shagiir, hal. 544)
Makna qurratul ‘ain adalah sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati. (Lihat Fatul Qadiir, Asy Syaukaani, 4/129)
Sikap seorang mukmin dalam menghadapi masalah
Dikarenakan seorang mukmin dengan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, maka masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan karena keimanannya yang kuat kepada Allah Ta’ala sehingga membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allah Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya. Dengan keyakinannya ini Allah Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs At Taghaabun: 11)
Ibnu Katsir mengatakan, “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/137)
Inilah sikap seorang mukmin dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Meskipun Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya yang maha sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allah Ta’ala dalam mengahadapi musibah tersebut. Tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allah senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut. Adapun orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan). Sungguh Allah telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,
وَلا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لا يَرْجُونَ
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (Qs An Nisaa’: 104)
Oleh karena itu, orang-orang mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan. Akan tetapi, orang-orang mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allah Ta’ala.” (Ighaatsatul Lahfan, hal. 421-422, Mawaaridul Amaan)
Hikmah cobaan
Di samping sebab-sebab yang kami sebutkan di atas, ada faktor lain yang tak kalah pentingnya dalam meringankan semua kesusahan yang dialami seorang mukmin dalam kehidupan di dunia, yaitu dengan dia merenungkan dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allah Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang diberlakukan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Karena dengan merenungkan hikmah-hikmah tersebut dengan seksama, seorang mukmin akan mengetahui dengan yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah justru untuk kebaikan bagi dirinya, dalam rangka menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allah Ta’ala.
Semua ini di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allah Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya. Dengan sikap ini Allah Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:
أنا عند ظنّ عبدي بي
“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku.” (HSR al-Bukhari no. 7066 dan Muslim no. 2675)
Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala. (Lihat kitab Faidhul Qadiir, 2/312 dan Tuhfatul Ahwadzi, 7/53)
Di antara hikmah-hikmah yang agung tersebut adalah:
[Pertama]
Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya, yang kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu, musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut akan meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan hal. 422, Mawaaridul Amaan). Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Orang yang paling banyak mendapatkan ujian/cobaan (di jalan Allah Ta’ala) adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan) dan orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan), (setiap) orang akan diuji sesuai dengan (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya, dan akan terus-menerus ujian itu (Allah Ta’ala) timpakan kepada seorang hamba sampai (akhirnya) hamba tersebut berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)” (HR At Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4023, Ibnu Hibban 7/160, Al Hakim 1/99 dan lain-lain, dishahihkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam Silsilatul Ahaadits Ash Shahihah, no. 143)
[Kedua]
Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang mukmin kepada-Nya, karena Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 424, Mawaaridul amaan) Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HSR Muslim no. 2999)
[Ketiga]
Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allah Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang menjadikannya sangat jauh berbeda dengan keadaan dunia, karena Allah menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hamba tersebut hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 423, Mawaaridul Amaan dan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Uluumi wal Hikam, hal. 461, Cet. Dar Ibni Hazm). Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل
“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HSR Al Bukhari no. 6053)
Penutup
Sebagai penutup, kami akan membawakan sebuah kisah yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim tentang gambaran kehidupan guru beliau, Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah di zamannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –semoga Allah merahmatinya–. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allah Ta’ala takdirkan bagi dirinya.
Ibnul Qayyim bercerita, “Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada gurunya, Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi bersamaan dengan itu semua, aku mendapati beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat), maka dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Rabi’ul awwal 1430 H
***
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, Lc.