Jumat, 20 Mei 2011

1 PEMAHAMAN ISLAM

1 Pemahaman Islam
Meskipun putera KH Wahid Hasyim, cucu Syekh Hasyim Asy’ari, namun KH Abdurrahman Wahid, pemahaman Islamnya amat sangat jauh berbeda sekali dengan ayah dan kakeknya. Kala BPKI membicarakan rancangan pertama UUD pada 13 Juli 1945, Wahid hasyim mengajukan usul agar ditetapkan bahwa yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam, dan agama negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang beragama lain untuk beribadat menurut agamanya masing-masing (Dasrizal : “KH Wahid Hasyim Pemuda Yang Berhasil Meneruskan Kebe3saran Para Leluhurnya”, ESTAFET, No.12, Th.II, Edisi Oktober 1986, hal 23-25, Yang Muda Pada Masanya). Bagi seorang demokrat KH Abdurrahaman Wahid, menetapkan syarat seorang Presiden dan Wakil Presiden harus beragama Islam, adalah diskriminatif, tidaka adil. Dan juga bagi KH Abdurrahman Wahid, ideologi Pancasisla itu yang mampu mempersatukan bangsa Indonesia ini, dan bukan Islam. Berdasarkan pemikiran ini KH Abdurrahman Wahid mendirikan PKB yang bersifat terbuka dan berasaskan Pancasila.
Dalam hubungan ini, Prof Dr Amien Rais tak beda dengan KH Abdurrahman Wahid, sama-sama menyukai ideologi Pancasila katimbang Islam. Meskipun mengusung keunggulan ciri-ciri negara Islam yang ditegakkan di atas dasar keadilan, musyawarah dan persamaan, namun Prof Dr Aamien Rais lebih menyukai ideologi Pancasila dari pada Islam. Juga tak beda dengan Prof Dr Munawir Syadzali (penulis buku “Islam dan Negara”) yang setelah menganalisa cukup padat tentang perkembangan negara Islam sejak dari masa Nabi sampai kini, namun yang menarik selera, menggelitik hatinya adalah Negara Pancasila Indonesia, bukan negara Indonesia yang mengacu pada Islam (KH Firdaus AN : “Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi”, 1992:83, Timbangan Buku “Islam dan Negara”). Meskipun membaca, mengutip Said Ramadhan, Muhammad al-Ghazali, Sayid Quthub, Muhammad al-Bahi, Musthafa as-Siba’I, hasan al-Banna, bahkan mengantarkan terjemahan karya Abul A’la al-Maududi “Khilafah Dan Kerajaan”, namun Prof Dr Amien Rais, pemahaman Islamnya berbeda dengan mereka. Betapa pun, kami – kata Abul A’la al-Maududi – akan tetap menciptkan masyarakat Islam. Kami akan tetap berusaha mewujudkan cita-cita itu. Kami tidak akan berhenti barang sejenak untuk memperjuangkan hal itu, kapan dan dimana saja, tidak peduli apakah ada persoalan yang akan kami hadapi (“Kemerosotan Ummat Islam Dan Upaya Pembangkitannya”, 1984:3). Namun Prof Dr Amien Rais mengingatkan akan pendapat Mr Mohammad Roem bahwa aspirasi hukum Islam sepenuhnya dapat ditampung dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945. Syukur, Prof Dr Amien Rais menutup uraiannya dengan “wallahu a’lam” (Panduan Umum Musyawarah Wilayah Muhammadiyah, Aisyiyah, Nasyiyatul Aisyiyah DKI Jakarta, Periode : 1995-2000, halaman 40-56, Hubungan Antara Politik Dan Dakwah).Berdasarkan pemikiran ini, Prof Dr Amien Rais mendirikan PAN yang juga bersifat terbuka dan berasaskan Pancasila.
Berpangkal pada kesamaan, sama-sama bersifat terbuka dan berasaskan Pancasila, seenarnya PKB, P, PDI-P, GOLKAR sangat berpeluang besar berkoalisi menjalin kerjasama dan persatuan. Namun kesamaan visi dan misi tidaklah menjamin teerwujudnya kesatuan dan persatuan. Persatuan hanya beangkat dari kesamaan
kepentingan, bukan dari kesamaan visi dan misi politik. Inilah realita, faakta bahwa di dalam politik (yang bukan berlandaskan pada ajaran Islam) tidak ada musuh abadi dan kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi (Buletin Dakwah AL-ISLAM, Edisi 047, Tahun VII, “Menghalalkan Segala Cara, Haram”).
Meskipun sama-sama pernah diasuh, dididik, dibina, digembleng oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto, namun Soekarno, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pemahaman Islamnya saling berbeda. Masing-masing melahirkan madzhab sendiri-sendiri. Yang saty mengusung Negara Pancasila. Yang lain mengusung Negara Islam. Meskipun mengusung Islam, namun PII, HMI, ICMI, NU, Muhammadiyah, PERTI, PERSIS, Irsyad, pemahaman Islamnya berbeda satu sama lain, bahkan berubah sikon berubah pula pemahahaman Islamnya. Meskipun sama-sama alumni HMI, namun Dahlan Ranuwihardjo, Nurcholish Madjid, Abdul Ghafur, Ismail Hassan Meutareum, Akbar Tanjung, Anas Urbaningrum, pemahaman Islamnya berbeda satu sama lain, bahkan kini tak lagi mengusung Islam. Meskipun sama-sama pernah duduk dalam Dewan Redaksi mengarahkan PANJI MASYARAKAT, namun Rusydi Hamka, Marwan Saridjo, Afif Amarullah, Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Assyumardi Azra, Syafe’I Anwar, pemahaman Islamnya berbeda satu sama lain, bahkan kini hampir-hampir tak lagi mengusung Islam. Meskipun sama-sama berbicara tentang Islam, namun Soekarno, Ruslan Abdulgani, Rosihan Anwar, Taufiq AG Ismail, HB Jassin, pemahaman Islamnya berbeda satu sama lain.
Akibat kesenjangan pemahaman Islam itu, maka berlanjut dengan kesenjangan pemahaman tentang Syari’at islam, tentang Menegakkan Syari’at Islam, tentang Pemerintahan Islam, tentang Negara Islam, tentang Pembangunan Islam, tentang Pengadilan Islam, tentang Politik Islam, tentang Ekonomi Islam, tentang Masyarakat Islam, tentang Budaya Islam, tentang Pasukan Islam, dan lain-lain.
Sikap orang terhadap Islam itu berbeda-beda. Ada yang menerima Islam seluruhnya sebagai orang takwa. Ada yang menolak Islam itu seluruhnya sebagai orang kafir. Ada pula yang menerima Islam sebagiannya dan menolak Islam sebagiannya tergantung padaa sikon. Ada yang kebaikannya lebih banyak dari kesalahannya. Ada yang kesalahannya lebih banyak dari kebaikannya (Disimak dari QS 2:1-20,85, 35:32).
2 Tingkat pemahaman terhadap Islam
Ada yang memahami, bahwa Islam hanyhalah soal moral, etika, akhlak saja. Yang digali, disanjung, dipuja dari Islam hanyalah sebatas hakikatnya, esensinya, jiwanya, semangatnya, nilainya, prinsipnya. Paham begini disebut neo-modernisme. Cukup puas dengan label Islam. Ada yang memahami, bahwa Islam juga mencakup seremonial. Cukup puas dengan acara-acara seremonial. Ada yang memahami, bahwa Islam juga mencakup ritual. Cukup puas dengan acara-acara seremonial dan ritual ibadah. Berupaya keras menjegal tegaknyaa syari’at Islam. Paham begini disebutkan modernisme akomodatif. Ada yang memahami, bahwa Islam juga mencakup kultural budaya. Paham begini disebutkan reformis progresif. Ada yang memahami, bahwa Islam juga mencakup sosial kemasyarakatan. Berupaya terciptanya masyarakat IMTAQ, masyarakat MARHAMAH. Paham begini disebutkan fundamentalis evolusioner. Ada yang memahami, bahwa Islam juga mencakup legal struktural. Berupaya keras tegaknya syari’at Islam. Paham begini disebutkan radikalis revolusioner. Masing-masing mengikuti kecenderungan, bakat, arah, seleranya dalam memahami menginterpretasikan Islam, meskipun sama-sama merujuk pada Qur:an dan Sunnah. (Bks16-3-2000).
3 Sikap pandang Umat Islam
“Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara amereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan idzin Allah” (QS Faathir 35:32). Ada yang lebih banyak kesalahannya dari pada kebaikannya. Ada yang kebaikannya sebanding dengan kesalahannya. Ada yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan.
Sikap dan pandangan hidup umat Islam dapat dipantau dari kecenderungannya mendukung parpol tertentu. Ada umat Islam yang sekedar menyatakan dirinya sebagai pemeluk Islam. Ada yang sudah menjalankan ibadah agamanya. Ada yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang ajaran Islam. Ada yang berupaya mengatur perilakunya sesuai dengan ajaran Islam. Ada yang cuek dengan Islam, tak peka dengan aspirasi politik Islam, bahkan anti negara Islam (sekular profesional). Ada yang memanfa’atkan nama Islam demi kepentingan politik pribadi (oportunis). Ada yang menempatkan dasar-dasar ke-Islaman dalam kontek nasional dan melibatkannya dalam pergulatan modern (neo-modernisme). Ada yang menempatkan missi Islam untuk memobilisasi dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya secara berkesinambungan (sosialisme-demokratis). Ada yang menempatkan aspek rasional dan pembahasan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi modern (modernisme-rasional). Ada yang menyerukan kembali kepada Qur:an dan Sunnah, tapi tidak merinci petunjuk pelaksanaannya dalam kehidupan modern (tradisional-progresif). Ada yang berpandangan bahwa Islam sama sekali tidak ada kaitannya dengan sistem kenegaraan. Ada yang berpandangan bahwa Islam tidak menyediakan aturan ketatanegaraan dan politik. Ada yang memandang bahwa politik harus mandiri, terlepas dari campur tangan agama, dan bahwa di dalam berpolitik harus bersikap luwes (fleksibel, inklusif) dan mau berkompromi, bekerjasama dengan golongan sekuler (akomodasionis-kompromistis). Ada yang berupaya menggunakan kendaraan politik sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai ke-Islaman dalam kehidupan sehari-hari, dan bahwa dapat bekerjasama dengan kelompok sekuler asalkan tidak mengorbankan prinsip-prinsip perjuangan (reformis). Ada yang menginkan perubahan yang bersifat sosial-kultural dan politis-ekonomis, tapi bukan perubahan yang mendasar, yang menyeluruh, yang hanya menghendaki perubahan cara hiudp umat islam disesuaikan dengan perkembangan zaman (modernis). Ada yang memandang Islam itu sebagai sub-ordinasi dari sitim thugyan, sebagai komplementer, hanya menyangkut soal nilai, masalah moral (ajaran etika) dan hanya menginginkan terwujudnya kultural-sosial Islam (modernisme). Ada yang memandang Islam juga mengatur masalah sistem ketatanegaraan maupun politik, dan secara serius melakukan rethinking (pemikiran kembali) mengenai penerapan ajaran Islam dalam kehidupan bernegara modern, dan secara serius pula berjuang melalui parpol (reformis-modernis-progresif). Ada yang terlibat secara ideologis dengan ajaran Islam. Ada yang memandang Islam itu sebagai sistim alternatif, dan berupaya mengwujudkan terwujudnya struktur politik (pemerintahan) secara efektif, dengan menggunakan jalur dakwah (tarbiyah dan taklim), besifat evolusioner dan dialogis, yang disampaikan secara bijak, edukatif, persuasif, dengan mengambil bentuk ihsan (reformasi), dan dilakukan secara mendasar dan menyeluruh (radikalis-kompromistis-evolusioner). Ada yang berupaya mengwujudkan pemerintahan Islam dengan melakukan ajakan moral, penggalangan publik-opini, aksi sosial, dengan siakp kompromi, dengan menggunakan jalur politik (demokrasi-konstitusional), dan dilancarkan secara mendasar dan menyeluruh (radikalis-kompromistis-revolusioner). Ada yang memandang Islam sebagai agama yang lengkap, utuh dan bulat yang dapat dijadikan pegagan dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam berpolitik, berekonomi, bernegara, dan lain sebagainya (sebagai sistem alternatif), dan bahwa politik tidak dapat dilepaskan dari Islam, dan berupaya mewujudkan pemerintahan/negara Islam, agar nilai-nilai ke-Islaman dapat terwujud dalam segala perilaku, baik dalam berpolitik dan bernegara, dengan menggunakan cara yang bersifat non-kompromistis, bergerak di luar orbit, bersifat konfrontatif (hijrah) dan represif terhadap struktur politik yang berkuasa (menolak bekerjasama dengan siapa pun yang menentang perjuangan dan cita-cita Islam), bersifat populis (gerakan massa, aksi sosial), bahkan konfrontatif terhadap elite (malaa, mutraf, konglomerat), bersifat revolusioner, berjuang menggunakan jalur militer dengan kekuatan senjata, bukan melalui jalur politik-konstitusionil (radikalis-nonkompromistis-fundaamentalis-integralis-militan).
Islam berpesan bahwa kebajikan itu bukanlah berkiblat ke Barat atau ke Timur, tetapi kebajikan itu adalah beriman, beramal shaleh, berbuat ihsan, bertaqwa (antara lain disimak dari QS Baqarah 2:177). (Bks 17-6-99).
4 Loyalitas NU
Seperti biasanya, fatwa ulama NU tak pernah lepas dari pertimbangan kalkulasi politik dalam memutuskan sikapnya. Corak dan perilaku keagamaan NU terkaait dengan teologi yang dianaut oleh NU yang berakar dari faham ahlus sunnah wal jama’ah. Dalam penerapannya, faham tersebut diinterpretasiskan secara fleksibel di bawah kaidah “Memeilhara khasanah masa lalu yang baik serta amengadopsi perkembangan terbaru yang lebih baik”.
Keputusan ulama NU dalam prakteknya lebih bermuatan unsur politiknya dari pada unsur teologi atau fiqihnya. Kebijakan-kebijakan politik NU hanya untuk mempertahankan position politiknya. Yang paling terkenal adalah persetujuannya terhadap pembubaran parlemen dan penerimaan terhadap Demokrasi Terpimpin. Dalam sejarah juga tercatat fatwa NU yang intinya memberikan kekuasaan kepada Soekarno sebagai “waliyul ad-dharuri bis-syaukah”. Untuk mendukung ssikap tersebut, NU mengeluarkan dalil fiqih “dar:ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih”. Untuk menerima Asas Tunggal Pancasila, NU mengemukakan dalil fiqih “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu”. Untuk menjegal Megawati Soekarnoputeri sebagai calon Presiden, digunakan dalil ushul fiqih “hukum tergantung penyeabnya”.
Deklator PKB, Ketua PBNU KH Abdurrahman Wahid melakukan manuver politik dengan mendatangi Habibie dan Akbar Tanjung serta Amien Raais dan membuat gagasan pemisahan aantaraa Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sebagai upaya NU untuk kompromi politik dalam teologis fiqih, sebagai langkah ijtihad fiqih khas NU (Tabloid ABADI, No.33, Tahun I, 24-30 Juni 1999, hal 10, “Fatwa Ulama NU Antara Fiqih Dan Politik, UMMAT, No.11, 25 November 1996, hal 34-36, “Politik Kemashlahatan Gaya NU”, PESANTREN, No.2/Vol.II/1985, hal 41).
Abdurrahman Wahid melakukan manuete

5 Memasyarakatkan Pesan Islam

Setiap Muslim ketika membaca kalimah syahadah “La ilaaha illallah Muhmmadur Rasulullah”, berarti pada saat itu ia telah mengakui bahwa satu-satunya hukum yang harus ia patuhi adalah Hukum Allah, yang berdaulat atas dirinya hanyalah Allah, pemerintahnya hanyalah Allah, hanya Allah lah yang harus ia patuhi, dan hanya hal-hal yang benar menurut Allah dan RasulNya sajalah yang benar baginya. Seseorang, begitu menjadi Muslim, berarti konsekuensinya ia berkewajiban menilai segala sesuatu berdasarkan al-Qur:an dan Sunnah, bukan berdasarkan pendapatnya sendiri, pendapat atau kebiasaan masyarakat. Ia harus menerima apa yang sesuai dengan Firman allah dan Sunnagh RasulNya, dan menolak apa pun yang bertentangan dengan keduanya, tak peduli apa kata orang dan apa yang mereka lakukan. Adalah bertentangan (kontradiktif) bila di satu pihak ia mengatakan bahwa ia adalah seorang Muslim, tapi di lain pihak ia masih lebih menurutkan pendapat dan seleranya sendiri, atau kebiasaan masyarakat, atau apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang-orang yang enggan menuruti al-Qur;an dan Sunnah. Seorang Muslim hanya akan menyrahkan seluruh masalah hidupnya kepada ajaran al-Qur:an dan Sunnah, dan mengesampingkan pemikirannya sendiri, atau adat kebiasan masyarakat, atau perkataan dan perbuatan orang yang tak menuruti ajaran Allah dan RasulNya. Seorang Muslim harus tetyap berada dalam ikatan Islam, yaitu menerima firman Allah dan Sunnah RasulNya sebagai kriteria kebenaran dan keadilan, dan memandang segala sesuatu yang bertentangan dengannya sebagai kebatilan. Setiap saat ia membuat keputusan terhadap segala persoalan hidup berdasarkan metode, petunjuk yang telah digariskan dalam Kitab Allah dan Sunnarh RasulNya, bukan berdasarkan metode yang ditentukan oleh kemauan dirinya sendiri, atau adat kebiasaan, atau aturan yang dibuat oleh masyarakat (Abul A’la Maududi : “Dasar-Dasar Islam, 1984:25-27).
Seorang Muslim senantiasa terikat dengan hukum-hukum Islam. Tindak tanduknya terikat pada syari’at Islam. Ia selalu terikat dan wajib menjalankan hukum-hukum Islam. Seorang Muslim menjalankan suatu perbuatan atau meninggalkan suatu perbuatan, semata-mata berlandaskan hanya kepada nash-nash syar’I saja, bukan karena pertimbangan maslahat atau mudharat menurut otaknya. Seorang Muslim wajib mengikatkan dirinya ahanya dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam, tanpa melakukan kompromi dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum kufur (Buletin Dakwah AL-ISLAM, Edisi 047, Tahun VII, hal 2-3). Masdar F Mas’udi, wakil Direktur Eksekutif Perhimpunan Penyantun Pesantren Dan masyarakat, pengarang buku “Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dan Islam” dengan tegas mengatakan bahwa sumber pemikiran bukanlah Hadits Shahih, melainkan maslahat mursalah (realitas empirik). Ia menolak RUU Zakat dengan dalih tidak adil (Suplemen Republika TEKAD, No.29, Tahun I, 26 Juli – 1 Agustus `1999). Seperti juga Abdurrahman Wahid, Said Aqil Siradj, Masdar F Mas’udi menyatakan bahwa tidak ada negara Islam. Tersiarat di dalamnya bahwa yang dikehendaki adalah sistem negara sekuler. Mereka menentang segala macam bentuk legalisasi ajaran Islam (Amsar A Dulmanan : REPUBLIKA, 30 Juli 1998). Na’udzubillahi min dzalik.
Setiap Muslim berkewajiban memasyarakatkan pesan-pesan Islam. Salah satu pesan islam adalah agar senantiasa berpegang dan berpedoman hanya pada ajaran Islam itu sendiri dan melucuti seluruh ajaran, ideologi baik lokal, regional maupun internasional. Sedangkan yang bukan Muslim bebas melakukan sesuatu yang disukainya, dan menyebut dirinya dengan sebutan yang disukainya, asalkan saja tak mengganggu, merintangi dakwah Islam.
Setiap Muslim berkewajiban menyru siapa saja ke dalam Islam secara totalitas. Ideologinya Islam. Politiknya Islam. Ekonominya Islam. Sosiologinya Islam. Budayanya Islam. Pertahanannya Islam. Keamanannya Islam. Ketertibannya Islam. Pemerintahannya Islam. Pembangunannya Islam. Pengadilannya Islam. (Fathi Yakan : “Bagaimana Kita Memanggil Kepada Islam”, 1978:99-159, Garis-Garis Besar Ajaran Islam, Muh Quthb : “Jawaban Terhadap Alam Fikiran Barat Yang Keliru Tentang Al-Islam”, 1981).
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain Allah” (QS 7:3). “Masuklah kamu ke dalam Islam secara Keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan” (QS 2:208). “Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain, karena jalan-jalan itu menceraikan kaamu dari jalan-Nya” (QS 6:153). “Dana janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia dan mereka tersesat dari jalan yang lurus” (QS 5:77). “Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sesungguhnya orang itu telah sesat dari jalan yang lurus” (QS 2:108).
6 Bisikan Setan
Setan – melalui media yang ada – membisikkan bahwa tiap jasa yang diberikan oleh seseorang harus mendapat imbalan yang semestinya, juga di bidang dakwah. Seseorang Muballigh yang harus menyisihkan waktunya yang berharga untuk pergi berdakwah selayaknya mendapat ganti rugi yang pantas. Demikian juga seorang pengarang yang menghasilkan tulisan-tulisan bernada dakwah, atau karya-kaarya lain yang dapat mendatangkan keuntungan, pantas juga menuntut honorarium, atau royalty dari karya-karya yang dihasilkannya (Hak Cipta).
Masa di mana para Muballigh harus berani untuk menyamapaiakan ajaran-ajaran agama, di mana para Guru-guru agama bersedia berpakaian seadanya asal saja terus dapat memberi pelajaran, dan di mana penulis-penulis dengan perut kososng harus menghasilkan karangan-karangan bernada dakwah, semuanya sudah lampau.
Masa Muballigh berprofesi spesialis semacam HOS Tjokroaminoto sebagai pengacara ulung, Abikoesno Tjokrosoejoso sebagai arsitek kenamaan, KHA Dahlan seagai saudagar batik, KH Hasyim Asy’ari sebagai petani kaya, juga sudah lampau.
Berdasarkan bisikan ini, maka tak asing lagi menyaksikan seorang Khatib Jum’at menandatangani kwitansi pembayaran yang cukup besar, sesudah selesai berkhutbah. Seorang Muballigh tenar, punya tarif tertentu untuk transport panggilan berdakwah. Seorang penulis terkenal hanya mau mengisi suratkabar-suratkabar Islam yang bwerani memberi honorarium tinggi. Praktek semacam itu sudah dianggap wajar, tidak lagi sebagai menjual ayat-ayat suci dengan harga yang murah (PANJI MASYARAKAT, No.173, 15 April 1976, hal 16-18).
Dengan demikian para penerbit yang membajak dan mencetak karya tulis seseorang tanpa izinnya, dipandang merugikan penulis dan penerbit yang dapat izin, tidak mempedulikan peringatan Nabi saw “Harta seseoang tidak halal kecuali dengan kerelaan hatinya”, serta hadits-hadits lain yang menjaga hak-hak dan harta benda manusia (Muhammad Nashiruddin al-Albani : Pelaksanaan Shalat Nabi saw”, 1986:17-18, Kata Pengantar).
Bila telah memperoleh imbal jasa amplop berupa honorarium, royalti, maka tak akan mampu mengucapakan “Aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu. Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam” {QS 26:109,127,145,164,180).
Dalam hubungan ini, pada sidang pengadilan di hari berbangkit nanti dihadapakan seseorang yang banyak belajar dan mengajar orang lain, serta rajin membaca al-Qur:an. Allah mengingatkan kepadanya akan karuniaNya dan ia mengakui hal tersebut. Kemudian kepadanya ditanyakan : “Apa yang kamu lakukan dengan karunia tersebut ?”. Dia menjawab : “Saya banyaka belajar dan mengajar oang lain serta selalu membaca al-Qur:an untuk memperoleh ridhaMu”. Allah berkata : “Kamu bohong. Kamu membaca al-Qur:an agar orang-orang berkata “dia memang seorang qari”, dan mereka telah mengatakan hal tersebut. Lalu Allah menyuruh mereka diseret mukanya dan dilemparkan ke neraka (HR Muslim dari Abu Hurairah).

7 Jika mengundang setan

Jangan sekali-kali mengundang setan, membiarkan setan masuk datang bertandang berkunjung, apalagi sengaja berteman berbaikan mengikuti setan. Setan itu bukanlah teman, bukanlah kawan, tetapi lawan, musuh seterang-terangnya (QS 25:29, 17:53, 12:5, 43:62, 35:6). Jika mengundang setan, maka terjadi bencana, malapetaka besar, kerusakan, kekacauan, kerusuhan, keresahan. Terjadi kerusakan mental, kerusakan moral, kerusakan kultural, kerusaakan sosial, kerusakan politik, kerusakan ekonomi, kerusakan hukum, kerusakan hutan, kerusakan laut, dan beragai macam kerusakan lain. Setan menginginkan merajalelanya kesesatan, penyimpangan (QS 4:60), kejahatan, kemungkaran (QS 2:268, 24:21), permusuhan, pertentangan, pertikaian, pertengkaran (QS 5:91). Islam mengingatkan agar “janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar” (QS 24:21), agar “janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapamu dari surga” (QS 7:27), agar “janganlah kamu sekali-kali dipalingkan oleh syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (QS 43:620.

Sarana dan prasarana yang digunakan oleh setan untuk menggelincirkan, menyelewengkan, menyesatkan, untuk menimbulkan kerusakan, kekacauan, kerusuhan, keresahan berbagai macam rupa, berbagai macam bentuk. Di antaranya berbentuk khamar, tuak, miras, narkotika, opium, candu, madat, maisir, judi, anshaab, patung, berhala, azlam, ramalan, horoskop, dan lain-lain. Islam mengingatkan, bahwa “sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan aanak panah, adalah perbuatan akeji, termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS 5:91), bahwa “sesungguhnya syaitan itubermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, lantaran (meminum0 khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu) (QS 5:91).
Setan gigih menyebarkan judi dan miras, menyebarkan perzinaan, menyebarkan bid’ah, menganjurkan riya, menganjurkan kikir dan boros, menganjurkan melebih-lebihkan (ifrath) dan mengurang-ngurangkan (tafrith), menganjurkan berlebih-lebihan (ghuluw), dan berkurang-kurangan (taqshir), menganjurkan taqlid sesat, menganjurkan memisahkan dunia dan akhirat, menyamakan riba dan niaga, menyamakan zina dan nikah, menghiasi berhala, membawa syirik, memperalat perempuan, memperalat tukang tenung, dan lain-lain (Md Ali al-Hamidi : “Godaan Syetan”, 1984).
Setan bersarang, berkumpul, berkerumun di mana-mana. Di al-hammaam (kamar mandi), di al-aswaaq (pasar), di ath-thurq (jalanan), pada al-muskir (miras), pada al-mazaamiir (kidung), pada asy-syi’ri (tembang), pada al-wasymi 9tato), pada al-kadzib (kebohongan), pada an-nisaa (wanita) (imam Ghazali : “Rahasia Hati”, 1985:116-117). Semua jalur dimanfa’atkan setan sebagai media. Jalur tayangan televisi, tempat hiburan, jumpa idodla, tatanan ekonomi, industri, transaksi bisnis, investasi modal, tenaga kerja, tatanan politik, tatanan hukum, dan lain-lain. Setan merambat, menjalar, mengalir ke sekujur tubuh bangsa, ummat, masyarakat. Tak ada ruang yang tersisa bagi setan. “Sesungguhnya syaitan itu berjalan dalam diri manusia menurut perjalanan darahnya” (HR Bukhari dan Muslim)).
Karena mengundang setan dengan berbusana mini, serba terbuka, yang atas mengkerut ke bawah, yang bawah mengkerut ke atas, yang memerkan aurat (sex appeal), maka terjadilah perzinaan, perkosaan, pelecehan seksual. Berlanjut dengan hamil karena kecelakaan, atau bermuara pada abortus, pengguguran kandungan. Atau mungkin juga sampai ke meja hijau, seperti kasus TKW di Timur Tengah (KOMPAS, Sabtu, 17 Maret 2001, hal7). Karena mengundang setan dalam pergaulan bebas antara pria dan wanita, dalam bentuk jumpa artis dan penggemar, maka terjadilah suasana histeris, kacaua balau, bahkan sampai menelan korban jiwa yang terinjak-injak, seperti dalam kasus jumpa fans eiwan (Tabloid NOVA, No.682/XIV – 25 Maret 2001, hal 4-5, Peristiwa)
8 Motivasi Bisnis Dalam Islam
Seruan kaum biang konglomerat arun kepadanya yang tercantum dalam QS Qashash 28:76-77, biasa dirujuk para muballigh, da’I untuk mengemukakan bahwa Islam menghendaki keselarasan antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi. Lengkapnya seruan itu bermakna “Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian} negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagaianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat keruskan di (muka) bumi”. Bila disimak lebih alam, lebih cermat, maka dari sudut pandang ekonomi, merupakan motivasi berbisnis, berusaha. Islam berorientasi pada kebahagiaan akhirat, kesejaahteraan sosial (bersama), bukan pada kebahagiaan duniawi, kesejahteraan individual (perorangan). Islam menghendaki agar hasil investasi duniawi, kekayaan individual, dimanfa’atkan, digunakan, dikembangkan pada investasi ukhrawi, kesejahteraan sosial (perorangan). Inti dari pengembangan usaha dalam Islam bukan untuk menumpuk kekayaan (takaatsur), tetapi untuk mensejahterakan orang sebanayak mungkin (sabilillah). Orang baik-baik dalam Islam adalah orang yang banyak berjasa, menanamkan jasa bagi kepentingan orang banyak. Menyediakan lapangan kerja bagi para penganggur, pengamen, pemulung. Mengusahakan pangan, sandang, papan bagi orang-orang melarat, orang-orang terlantar, para fakir-miskin, gelandangan. Mengusahakan sarana pendidikan, sarana kesehatan bagi orang banyak. Mengusahakan meningkatkan dya beli orang banyak. Maju mundurnya usaha bisnis tergantung pada naik turunnya daya beli orang banyak. Islam sangat tak menyukai sikap rakus, baik dalam bentuk riba, monopoli, kecurangan (Muh Quthb : “Jawaban Terhadap Alam Fikiran Barat Yang keliru Tentang Al-islam”, 1981:89-99, Pandangan Islam Tentang Kapitalisme).
9 Diskusi kajian Islam dan Sosial
Sudah sangat mendesak, sangat diperlukan Diskusi kajian Islam Dan Sosial secara rutin, berkala berkesinambungan, baik dalam taklim, mimbar Islam di radio, di televisi, di koran, di majalah, di lembaran dakwah. Paling sedikit, diskusi ini diselenggarakan sekali seminggu yang terdiri dari Kajian Islam dan Politik, Kajian Islam dan Ekonaomi, kajian Islam dan Budaya, Kajian Islam dan Sosial, masing-masing sekali sebulan. Hasil diskusi ini disiarkan, disebarkan secara luas melalui lembaran dakwah. Bahan diskusi dipungut dari karya-karya orang semacam Muhammad Quthub, Sayid Quthub, Musthafa as-Siba’I, Abu A’la al-Maududi, Zainal Abidin Ahmad, dan lain-lain.

10 Tayangan Kuliah Subuh

Penata, penyelenggara tayangan Kuliah Subuh (TPI), Hikmah Fajar (RCTI), Di Ambang Fajar (SCTV), Mutiara Subuh (Anteve), Fajar Imani (INDOSIAR) seyogianya mengambil prakarsa merintis pertemuan rutin secara berkala antar penata, penyelenggara Kuliah Subuh dan yang semacam itu untuk membicarakan, membahas, merumuskan, merancang pola dakwah subuh yang efektif, yang persuasif, yang totalitas, untuk masa-masa yang akan datang. Antar penata/penyelenggara kiranya dapat menyusun jadwal tayangan Kuliah Subuh terpadu yang tidak tumpang tindih satu sama lain. Misalnya semua penata, penyelenggara menyepakati terlebih dahulu beberap bidang kuliah, seperti Tata Hukum, Tata Negara, Tata Niaga, Tata Rancangbangun, Tata Budaya, Tata kerama. Untuk setiap bidang kuliah diupayakan da’i spesialis yang pakar di bidang kuliah tersebut. Masing-masing bidang studi digilir agar tak tumpang tindih antar tayangan yang satu dengan tayangan yang lain.
Ummat ini sangat memerlukan tuntunan yang praktis aplikatif. Misalnya da’i spesialis Tata Niaga hendaknya dapat menjelaskan secara mudah dan populer bahwa setiap orang berkewajiban berusaha sesuai dengan kemampuan dan ketrampilannya amasing-masing untuk mendapatkan rezeki, penghasilan, pendapatan untuk menafkahi diri dan keluarganya. Dan setiap orang harus ridha menerima jatah rezekinya sesuai dengan yang ditetapkan oleh Yang Maha Pemberi Rezeki. Yang kebagian sedikit agar tidak bersikap iri, dengki, kesal, dongkol, dan yang kebagian banyak agar tidak angkuh, congkak, pongah, boros, zalim. Semuanya bersaudara. Semuanya harus saling tolong menolong, saling bantu membantu satu sama lain, mengikuti tuntunan “ta’awanu ‘alal birri wat-taqwa”. Melalui saluran, jalur, lembaga yang dibenarkan, maka yang berkelebihan rezeki harus membantu, menolong, mencarikan jalan bagi yang mengalami kesulitan mengenai permodalan, tenaga kerja, pemasaran, management, dan lain-lain hal berkenaan teknis-operatif-administratif. Serta mengikuti tuntunan “wa la ta’awanu ‘alal itsmi wal-‘udwan”, semacam konspirasi, kolusi, korupsi, monopoli, kompetisi, spekulasi, riba, bursa, komersialisasi jabatan, intimidasi, provokasi, agitasi, dan lain-lain. (Bks 27-3-98).
11 Fatwa dan Mufti di Mimbar Dakwah
Bilamana seseorang tidak mengetahui sesuatu persoalan, maka ia disuruh menanyakan kepada ahlinya. Ahli Hukum Agama Islam disebut Ahli Fikih, atau dikenal juga dengan julukan Mufti (orang yang mengeluarkan fatwa). Seorang Mufti mengerti betul akan masalah Fikih (Hukum Agama Islam), Seperti man yang halal, haram, wajib, sunat, rukhshah, sah, batal, riba, judi, najis, azlam, ashnam, dan lain-lain. Dalam upaya memelihara agama Islam, agar tidak sembarang orang gampang mengeluarkan fatwa, maka ulama menetapkan beberapa syarat yang harus dimiliki seorang Mufti, antara lain mengerti betul akan ayat-ayat hukum, asbab nuzulnya, tafsirnya, hadits-hadits hukum, asbab wurudnya, rijal haditsnya, kaidah-kaidah ushul fikih, cabang-cabang fikih, ijma’, khilafiyah imam, madzhab-madzhab fikih, nasikh-mansukh, ilmu lughah, nahu-saraf, bayan, ma’ani, isti’arah, badi’, balaghah, dan lain-lain.
Seorang Mufti, bila ditanya tentang sesuatu masalah yang tak dikuasainya, maka ia tidak merasa malu menyatakan “Saya belum mengetahuinya”. Jika masalah yang ditanyakan itu kebetulan masalah rawan, maka ia tak segan minta ma’af menolak memberikan jawaban, serta mengemukakan hal-hal yang lebih baik diketahui oleh si penanya itu.
Kiranya dalam acara-acara mutiara/hikmah/mimbar Dakwah tahun-tahun yang akan datang, yang akan memberikan jawaban atas pertanyaan yang berhubungan dengan Hukum Agama Islam, terbatas dari kalangan Ahli Fikih atau Mufti yang zuhud, wara’, tawadhu’, sehingga jawaban tidak “ngambang”. Agar sasaran, tujuan (goal) dakwah tercapai, maka progamnya haruslah : terkalkulasi (measurable, ihtisaaban), terjadwal (time frame), tertantang (chalange), terlaksana (apllicable), realistis. (Bks 14-2-96).
12 Kegagalan Reformasi
Sesuai dengana kedudukannya sebagai Ketua MPR, Sang Tokoh Reformasi, Amien Rais sama sekali tak berupaya sungguh-sungguh memimpin, memenej, mengarahkan MPR untuk mewujudkan agenda reformasi secara menyeluruh. Begitu pula Ketua DPR Akbar Tanjung, Presiden Abdurrahman Wahid, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputeri, semuanya sama-sama tak pernah bersungguh-sungguh mengupayakan mewujudkan seluruh agenda reformasi yang dituntut oleh mahasiswa dan masyarakat, agar mengamendemen UUD-45, melaksanakan otonomi daerah, menghapus dwi-fungsi TNI, menegakkan demokrasi, menegakkan supermasi hukum, mengadili Soeharto, minta pertanggungjawaban Orba. Tak satu pun yang berupaya sungguh-sungguh menjelaskan, mengungkapkan secara luas data-data kelemahan, kekurangan UUD-45. Kenapa penguasa, tentara begitu menyukai mempertahankan UUD-45 secara murni dan konsekwen ? Apa karena elastisitasnya yang bisa ditarik sesuka hati sesuai kepentingannya sendiri ? kenapa bersikukuh dengan sisitim Presidentil (Hak Prerogatif Penguasa) dari pada sistim Parlementer (HAM Rakyat banyak). Apa untungnya hak prerogatif Presiden tanpa batas bagi rakyat banyak ? Mana yang lebih menjamin HAM, apakah UUD-45 ataukah UUDS-50 ? Mana yang lebih realitstis, apakah negara kesatuan yang berorientasi pada keseragaman, ataukah negara federasi yang berorientasi pada kebragaman (bhinneka tunggal ika, e pluribus unum). Mengungkapkan data-data kelemahan dan kesalahan Dwi-fungsi TNI. Secara formal, konsep Dwi-fungsi TNI dimatangkan dikembangkan dari konsep “jalan tengah” KSAD mayjen AH Nasution pada November 1958. Dimatangkan lagi dengan lahirnya doktrin “Tri Ubaya Cakti” (Seminar angkatan Darat I, April 1965), dan “Catur Dharma Ekakarsa” (Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966). Kemudian diperkuat dengan UU No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, yang antara lain menegaskan bahwa YNI mempunyai fungsi HANKAM (Kekuatan pertahanan keamanan) dan “kekuatan sosial politi”, yang garis besarnya menempatkan TNI sebagai dinimisator dan stabilisator. Dan rezim Orde Baru diddirikan tentara lewat Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966. Kenapa tak satu pun yang berupaya sungguh-susngguh untuk mereformasi UU No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan. Apa itu demokrasi. Apa bedanaya dengan otokrasi. Kenapa UUD-45 begitu benci pada demokrasi (liberal) ? Bagaimana menumbuhkan sikap mental demokrat masyarakat, bukan demokrat-otokrat ? Apa beda adu oatak, adu akal demokrasi dengan adu otot, adu okol demonstrasi ? Apa yang dimaksud dengan supermasi hukum ? Bagaimana mewujudkan supermasi hukum itu ? Apa kekuatan dan kelemahan dari sisitim hukum peninggalan Belanda dengan sistim hukum peninggalan Inggeris ? Bagaimana caranya mencegah terjadinya KKN ? Bagaimana caranya meminta pertanggungjawaban moral, politik, hukum dari rezim Orba Soeharto ? Semuanya tak pernah diungkapkan secara jelas, secara gamblang. Masing-masing terperangkap oleh kepentingan sendiri-sendiri (OBSERVER, Friday, March 2, 2001, page 2, SABILI, No.17, Th.VIII, 14 Februari 2001, hal 70-85).
13 Aceh Merdeka
Seminar perjuangan Aceh di Medan 22 Maret 1976 mencatat lima tahap perjuangan rakyat Aceh. Tahap pertama dari masa Sultan Ali Mughayatsyah (1509-1530) sampai masa Sultan Ibrahim Mansyursyah (1870). Belanda baru menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1873. Tahap kedua, dari masa Sultana Mahmudsyah sampai masa Sultan Muhammad Daudsyah mengentikan perlawanan tahun 1903, sebagai taktik perjuangan. Tahap ketiga, masa peningkatan kontra ofensif secara intensif (1903-1914). Dari tahun 1872 sampai tahun 1913 merupakan masa perjuangan rakyat Aceh membela dan mempertahankan Kedaulatan Negara Aceh Darussalam dari cengkeraman kolonial Belanda. Tahap keempat, masa perjuangan di jalur politik (1914-1942). Tahap kelima, masa perlawanan terhadap pendudukan tentara fasis Jepang (1942-1945). Secara resmi dinyatakan bahwa Peang Aceh menurut catatan sejarah beakhir pada tahun 1904 (PANJI MASYARAKAT, No.225, 15 Juni 1977, hal 21).
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Aceh, pemerintah kolonial Belanda menerima dua masukan sebagai usulan rencana perdamaian. Pertama, konsep perdamaian versi Habib Abdurrahman az-Shahir. Pokok sisinya adalah bahwa kepada Aceh hendaklah diberikan kemerdekaan mendirikan pemerintahan sendiri, dengan tetap memakai Sultan dan pemerintahan dijalankan oleh seorang Perdana Menteri (yang diusulkan dijabat oleh Habib Abdurahman az-Zhahir sendiri). Dalam RUU Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang diserahkan kepada Ketua DPR pada 10 Januari 2001, struktur pemerintahan memuat posisi Wali Nanggroe (Yang diusulkan dijabat oleh Tengku Hasan Di Tiro) selain Gubernur. Posisi Wali Nanggroe hampir sama dengan Sultan disamping Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta (PADANG EKSPRES, Kamais, 11 Januari 2001, hal 15, hasan Tiro Wali Nanggroe Aceh). Kedua, rencana perdamaiaan dari Prof Dr Snouck Hourgronye agar perang hendaklah diteruskan sampai tidaka ada perlawanan lagi, walaupun akan menelan korban (PANJI MASYARAKAT, No.198, 1 Mei 1976, hal 31-32, Islam Menjiwai Perjuangan Rakyat Aceh). Pada masa kemerdekaan, terjadi ketegangan antara pemerintah pusat dan rakayat Aceh. Dan pada bulan Mei 1959 tercapai islah rekonsiliasi) antara pemerintah pusat dan Dewan Revolusi Negara Bagian Aceh (PANJI MASYARAKAT, No.243, 15 Maret 1978, hal 17)
Tahun 1977 muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pelopornya Hasan Tiro, yang disebut sebagai Menteri Luar Negeri DI/TII di tahun limapuluhan. Proklamasi Aceh merdeka ditandatangai oleh Hasan Tiro, dibuat dalam bahasa Indonesia, bahasa Aceh, bahasa Inggeris. Kekuatan GAM itu 40 orang dari Aceh Pidie (Pidari) dengan 25 pucuk senjata. Bendera GAM (yang terbuat dari kertas) terpampang-terpajang di kecamatan Tiro Tursef, Bandar Baru, Kemang Tanjung, Trieng Gedang (PANJI MASYARAKAT, No.225, 15 Juni 1977, hal 57, Berita dan Komentar). Aceh sejak zaman kebesarannya – menurut Prof Dr Hamka – bukanlah menolak persatuan bangsa, malah menjadi salah satu pelopor persatuan. Modal perjuangan Aceh adalah Agama Islam. Bahkan ketika majapahit mengalahkan Pasai, orang-orang Aceh yang jadi tawanan Majapahit yang diangkut ke Jawa, menjadi penyebar Islam di Jawa. Kedudukan raja di Aceh amat berbeda dengan di Jawa. Tak ada yang namanya “darah biru”. Bara api Darul Islam tak pernah padam di bumi Aceh Darus Salam (PANJI MASYARAKAT, No.197, 15 April 1976, hal 27-32, Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Aceh, oleh Hamka).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar