Senin, 04 Juli 2011

Diam itu Emas

Salah satu praktek yang harus ditempuh para sufi dalam perjalanan mereka mendekati Tuhan disebut dengan Al-Shumt. Dalam praktek ini, seorang sufi berusaha mengendalikan lidahnya dengan membiasakan diri untuk banyak diam dan mengurangi pembicaraan.
Dalam kitab Ihyâ ‘Ulûmuddîn, Imam Al-Ghazali menceritakan seorang saleh yang mempunyai kebiasaan untuk bicara hanya setelah salat Isya saja. Kebiasaan ini ia kerjakan selama lebih dari empat puluh tahun. Jika tidak ada hal yang sangat perlu untuk ia bicarakan, ia lebih memilih untuk diam. Dengan ini ia mengurangi pembicaraannya hampir pada tingkat nol.
Menurut Sayyid Haidar Amuli, jika kita menutup mulut untuk tidak bicara, itu berarti kita mengizinkan hati kita untuk bicara lebih banyak. Sebenarnya kita memiliki hati yang selalu mengajak kita berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah mengecam perilaku-perilaku kita yang kurang baik. Seperti disebutkan dalam Al-Quran: Sungguh aku bersumpah demi hati yang selalu mengecam. (QS. Al-Qiyamah: 2)
Hati bisa berbicara. Ketika mulut seseorang terlalu banyak bicara, ia tidak akan dapat mendengar suara hati nuraninya. Suara hatinya tersumbat oleh riuhnya suara-suara mulutnya sendiri.
Tuhan memberikan isyarat-isyarat gaib-Nya kepada kita melalui hati kita. Jika kita terlalu banyak bicara, isyarat-isyarat gaib itu akan terhalang. Dalam Al-Quran, Allah swt menun-jukkan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang berbicara: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu membicarakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Al-Shaf: 3) Meskipun demikian, dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa kemampuan bicara adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah seperti dinyatakan dalam surat Al-Rahman: Tuhan Yang Mahapemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia dan mengajarnya pandai berbicara. (QS. Al-Rahman: 1-4)
Masih dalam Ihyâ Ulûmuddîn, Imam Al-Ghazali mengelompokkan pembicaraan kepada empat macam. Pertama, pembicaraan yang hanya mengandung bahaya saja dan tidak memiliki manfaat. Kedua, pembicaraan yang mempunyai manfaat dan tidak di dalamnya tidak mengandung bahaya. Ketiga, pembicaraan yang selain ada manfaatnya juga ada bahayanya. Keempat, pembicaraan yang tidak mengandung bahaya dan tidak memiliki manfaat.
Pembicaraan yang banyak mengandung bahaya dan tidak memiliki manfaat jelas harus kita hindari. Kita pun harus menghindari pembicaraan yang tidak ada manfaatnya dan tidak ada bahaya-nya. Pembicaraan seperti itu adalah pembicaraan yang berlebihan. Nabi saw bersabda, “Manusia yang paling baik adalah manusia yang memberi-kan kelebihan hartanya dan menahan kelebihan omongannya.”
Jenis pembicaraan yang ketiga, yaitu pembicaraan yang selain ada manfaatnya juga ada bahayanya itu juga lebih baik kita hindari. Sesuai satu dalil dalam Ushul Fiqh yang menyatakan bahwa bahwa bila di dalam satu unsur terdapat bahaya sekaligus manfaat, maka unsur itu harus kita tinggalkan. Misalnya, di dalam rokok terkandung manfaat dan bahaya sekaligus. Yang harus lebih dahulu kita perhatikan adalah bahaya yang terdapat dalam rokok itu. Karena itu, kita tinggalkan rokok. Demikian pula halnya dengan minuman keras. Al-Quran bercerita tentang manfaat yang ada dalam minuman keras namun bahaya yang terdapat di dalamnya lebih besar: Katakanlah pada keduanya itu (khamar dan judi) terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. (QS. Al-Baqarah: 219)
Imam Al-Ghazali hanya memperbolehkan satu jenis pembicaraan saja; yaitu pembicaraan yang hanya memiliki manfaat dan tidak mengan-dung bahaya.
Keutamaan Diam
Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang diam, dia pasti selamat.” Sementara pada waktu lain, Rasulullah saw berkata, “Diam itu kearifan tetapi sangat sedikit orang yang melakukannya.”
Hadis lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Sufyan menceritakan seseorang yang datang menemui Rasulullah saw. Orang itu meminta, ”Wahai Rasulullah, ceritakan kepadaku tentang Islam, yang setelah engkau tiada aku tidak akan bertanya lagi kepada siapa pun.” Nabi menjawab, ”Katakanlah: Kamu beriman kepada Allah lalu beristiqamahlah kamu.” Orang itu bertanya lagi, ”Ya Rasulallah, dari hal apa aku harus berhati-hati?” Rasulullah saw menjawab dengan isyarat tangan yang menunjuk kepada lidahnya.
Uqbah bin Amir pernah bertanya kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulallah, apakah arti dari keselamatan itu?” Nabi saw menjawab, ”Kendalikanlah lidah kamu; jadikanlah rumahmu sebagai tempat yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman dengan kehadiran orang-orang saleh;, dan menangislah akan kesalahan kamu.”
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin menjaminkan kepadaku apa yang ada di antara kedua gerahamnya dan apa yang ada di antara kedua kakinya, aku jaminkan bagi dia surga.”
Hadis yang lain meriwayatkan Rasulullah saw berkata, ”Tidak akan lurus iman seseorang sebelum lurus hatinya dan tidak akan lurus hati seseorang sebelum lurus lidahnya. Dan tidak pernah masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari gangguan lidahnya.” Orang yang lidahnya senang mengganggu tetangganya diharamkan masuk surga. Di zaman Nabi, suatu hari dilaporkan kepada Nabi perihal seorang perempuan yang kerjanya setiap hari berpuasa dan setiap malam salat tahajud, tetapi perempuan ini sering menyakiti hati tetangganya dengan lidahnya. Rasulullah saw mengatakan, “Dia berada di neraka.”
Seorang Arab dari dusun pernah datang menemui Nabi saw seraya berkata, ”Wahai Rasulullah, tunjukanlah aku kepada satu amal yang bisa memasukkan aku ke dalam surga.” Nabi berkata, ”Berikanlah makanan kepada yang lapar, berikanlah minuman kepada yang dahaga, perintahkan kebaikan, dan larang keburukan. Jika engkau tidak mampu melakukan itu semua, tahan lidahmu kecuali untuk yang baik saja.”
Sebuah hadis yang lain menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Amal yang paling ringan dilakukan tubuh kita adalah diam.” Diam adalah satu-satunya amal yang bentuknya tidak sulit untuk dikerjakan tetapi dalam prakteknya susah untuk dilakukan, padahal diam merupakan amal saleh. Dalam riwayat lain, Rasulullah berkata, ”Selamatnya manusia adalah karena ia memeli-hara lidahnya. Ketergelinciran lidah lebih ber-bahaya daripada luka-luka di dalam tubuh.” Ketergelinciran lidah adalah kebinasaan yang paling berat.
Abdullah bin Mas’ud berkata, ”Demi Allah Yang tiada Tuhan kecuali Dia, tidak ada yang kita perlukan untuk kita penjarakan selama-lamanya selain lisan kita.” Thawus Al-Yamani, salah seorang sufi besar, pernah berkata, “Lidahku adalah binatang buas. Kalau aku lepaskan dia, dia akan memakanku.” Wahab bin Munabbih menyebut-kan, ”Wajiblah buat orang yang berakal untuk bertindak arif dalam mengetahui keadaan zaman-nya dan menjaga lisannya serta memperhatikan urusannya.” Seorang tokoh sufi lain, Hasan Al-Bashri, berkata, ”Belum sempurna agama seseorang sebelum dia menjaga lisannya.”
Dalam Nahjul Balâghah, Imam Ali berkata, ”Al-lisân mîzânul insân. Lidah itulah ukuran manusia.” Dalam riwayat lain, Imam Ali menyebutkan, ”Lisan itu adalah penerjemah hati.” Imam Ali juga berkata, ”Betapa banyaknya darah tertumpah karena lidah; betapa banyaknya manusia yang binasa karena lidahnya; dan betapa banyaknya ucapan yang menyebabkan kamu kehilangan kenikmatan. Maka simpanlah perben-daharaan lidahmu sebagaimana kamu menyim-pan perbendaharaan emas dan uangmu.” Ucapan Imam Ali yang lain tentang hal ini adalah, “Kecela-kaan manusia karena lidahnya dan keselamatan manusia terletak dalam pengendalian lidahnya”
Kejahatan Lidah
Imam Al-Ghazali menyebutkan beberapa kejahatan yang dapat dilakukan oleh lidah kita. Hanya satu cara yang bisa kita lakukan untuk menghindari kejahatan lidah, yaitu dengan jalan diam.
Kejahatan lidah yang pertama adalah berbicara hal-hal yang tidak perlu. Nabi saw bersabda, ”Seseorang tidak dianggap mukmin sebelum dia menghindari segala sesuatu yang tidak perlu baginya.” Ciri seorang muslim yang baik ialah meninggalkan apa yang tidak ber-manfaat darinya.
Anas, seorang sahabat Nabi, bercerita; Suatu hari pada Perang Uhud, aku melihat seorang pemuda yang mengikatkan batu ke perutnya lantaran kelaparan. Ibunya lalu mengusap debu dari wajahnya sambil berkata, ”Semoga surga menyambutmu, wahai anakku.” Ketika melihat pemuda yang terdiam itu, Nabi berkata, ”Tidakkah engkau ketahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tidak ingin berbicara yang tidak perlu atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya.” Dalam riwayat lain, Nabi bersabda, ”Kalau engkau temukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah.”
Kejahatan kedua adalah pembicaraan yang berlebihan. Kelebihan pembicaraan dapat terjadi bila kita ingin menunjukkan kefasihan pembicaraan kita kemudian kita hias pembicaraan kita dengan hal-hal yang tidak perlu, agar orang lebih tertarik pada omongan kita. Penyebab kelebihan pembicaraan juga adalah adanya sikap ingin menunjukkan kepada orang lain tentang sesuatu yang sebenarnya tidak pantas untuk kita tunjukkan. Terkadang kita sering berbicara kepada orang tentang sesuatu yang sebenarnya orang lain tidak berkepentingan dengan hal itu. Tetapi lidah kita gatal untuk menceritakannya pada orang lain.
Banyak berbincang-bincang atau mengobrol juga termasuk ke dalam kategori pembicaraan yang berlebihan. Al-Quran menyebutkan, ”Tidak ada kebaikan pada banyaknya suatu obrolan kecuali dalam per-bincangan itu ada perintah untuk bersedekah, berbuat baik, atau perintah untuk mendamaikan sesama manusia.” (QS Al-Nisa: 114) Dalam suatu hadis disebutkan, ”Berbahagialah orang yang menahan kelebihan pembicaraannya dan membelanjakan kelebihan hartanya.”
Kejahatan ketiga adalah mengobrol tentang hal-hal yang batil. Di hari akhirat nanti, terjadi perbincangan antara para penghuni surga dan para penghuni neraka. Ahli surga bertanya kepada ahli neraka, “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke neraka?” Para ahli neraka men-jawab, “Dahulu kami tidak pernah melakukan salat, tidak memberi makan kepada orang miskin, dan kami biasa mengobrolkan hal-hal yang batil dengan orang-orang yang membicarakannya.” (QS. Al-Mudatsir: 42-45).
Kejahatan lidah yang keempat adalah berdebat. Debat memang berguna bagi murid yang sedang belajar. Tetapi bagi seorang alim, debat adalah sesuatu yang harus ia hindari. Seringkali lidah kita gatal untuk mendebat seseorang. Kita menikmati perdebatan karena dengan perdebatan kita dapat memuaskan nafsu binatang buas yang ada pada diri kita. Sifat binatang buas ini mendorong kita untuk menga-lahkan, menghancurkan, dan membuat kita lebih tinggi daripada orang lain.
Nabi berkata, ”Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, walaupun perdebatan itu benar, maka Tuhan akan berikan kepadanya tempat paling tinggi di surga. Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan yang batil, maka Tuhan akan bangunkan baginya rumah di taman-taman surga.” Dalam riwayat lain disebutkan Nabi bersabda, ”Janganlah engkau debat saudaramu; janganlah engkau lawan dia; dan janganlah engkau menjanjikan sebuah janji kepadanya lalu kau langgar janji itu.”
Kejahatan lidah yang kelima adalah perkataan yang di dalamnya terkandung unsur permusuhan, kedengkian, menyakitkan, serta menjatuhkan harga diri orang lain. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari; Suatu saat ada sahabat yang mencemooh Imam Ali kw karena kepalanya yang tidak berambut. Orang itu berkata, ”Hai, lihat! Sudah datang Si Botak!” Mendengar ucapan itu, Nabi berkata, ”Janganlah kau kecam sahabat-sahabatku.”
Kejahatan keenam adalah melebih-lebihkan pembicaraan untuk menunjukkan kefasihan dalam berbicara. Diriwayatkan dari Sayyidah Fatimah as, Nabi saw pernah bersaba, ”Sejelek-jeleknya umatku ialah orang yang di pagi harinya banyak memperoleh kenikmatan, lalu ia makan dan berpakaian secara berlebihan, dan ia banyak melebih-lebihkan pembicaraannya.”
Kejahatan lidah yang ketujuh adalah lidah yang sering mengucapkan kata-kata kotor. Rasulullah saw bersabda, ”Bukanlah seorang mukmin orang yang kata-katanya kotor, kasar, menusuk, dan melaknat.” Kata-kata kotor adalah kata-kata yang apabila kita mengucapkannya kita dianggap tidak sopan. Sedangkan kata-kata kasar adalah kata-kata yang sebaiknya tidak kita ucap-kan karena ada kata-kata lain yang jauh lebih halus. Seorang mukmin harus bisa menyampai-kan makna ingin diutarakannya dengan bahasa yang halus.
Di sisi lain, Islam pun memuji orang-orang yang berkata jujur dan apa adanya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari. Rasulullah saw bersabda, “Di bawah kolong langit ini, di atas bumi yang hijau ini, tidak ada lidah yang lebih jujur daripada lidah Abu Dzar.” Tetapi Abu Dzar juga pernah ditegur oleh Rasulullah saw karena terlalu jujur dalam berkata. Suatu saat, Abu Dzar bertengkar dengan sahabat Amar bin Yasir. Amar adalah orang yang berkulit hitam karena ada garis keturunan dari ibunya yang berkulit hitam. Ketika bertengkar, Abu Dzar berkata kepada Amar, “Hai, anak perempuan berkulit hitam!” Rasulullah saw mendengar hal itu. Ia menegur Abu Dzar, “Celakalah kamu, Abu Dzar! Tidak ada kelebihan orang berkulit putih di atas orang berkulit hitam; (tidak ada kelebihan) orang Arab di atas orang ‘Ajam.” Mendengar ucapan Rasulullah saw tersebut, Abu Dzar langsung merebahkan tubuhnya. Ia letakkan pipinya di atas tanah lalu memerintahkan Amar untuk menginjak kepalanya sebagai tebusan ucapannya tadi.
Kejahatan lidah yang kedelapan adalah melaknat. Sementara kejahatan yang kesembilan adalah lebih banyak bernyanyi daripada membaca Al-Quran. Al-Ghazali menyebutkan ada nyanyian-nyanyian yang diperbolehkan dalam Islam untuk kita nyanyikan. Tapi sebagian besar nyanyian itu tidak bermanfaat dan melalaikan kita dari Allah. Nyanyian yang baik adalah nyanyian yang di dalamnya ada ungkapan-ungkapan kerinduan kepada Allah dan terkandung pujian-pujian untuk Allah swt. []
Petikan ceramah KH. Jalaluddin Rakhmat pada Paket Kuliah Tasawuf; Meraih Cinta Ilahi, yang diselenggarakan oleh Al-Tanwir Spiritual Studies, Yayasan Muthahhari, pada 13 Desember 1999. Transkripsi oleh Sugiarto.

Al-Quran tak pernah menyebut kata kemerdekaan. Istilah itu memang punya makna spesifik dalam sejarah manusia. Ketika masyarakat terdiri dari dua macam anggota —orang merdeka dan budak— merdeka berarti bebas dari perbudakan. Al-Quran menyebut kata “budak” dan “tuan”, “’abd” dan “mawla”.
Ketika dunia terdiri dari bangsa yang menjajah dan bangsa yang terjajah, merdeka berarti melepaskan diri dari penjajahan bangsa lain. Kemerdekaan menjadi sebuah konsep dalam hubungan internasional. disebut merdeka karena ia melepaskan diri dari kekuasaan Belanda. Kata “bangsa” juga didefinisikan sebagai satu kelompok besar manusia —apa pun ras dan etniknya— yang mempunyai penjajah yang sama.
Al-Quran tak menyebut bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Tetapi Al-Quran berkisah tentang kelompok-kelompok manusia —boleh jadi terdiri dari satu bangsa atau bangsa-bangsa lain yang berlainan— yang berhubungan satu sama lain dengan sistem yang tidak adil. Alih-alih menyebut penjajah dan yang dijajah, Al-Quran menyebut “alladzînastakbaru” dan “alladzînastudh’ifu”. Ada kelompok yang arogan dan penindas serta ada kelompok yang dilemah-kan atau ditindas. Karena bertahan hidup dalam sistem yang tidak adil, keduanya disebut sebagai orang-orang zalim. Penduduk negeri mana pun, yang mempertahankan sistem yang zalim, akan dihempaskan dalam pengadilan Tuhan. Keduanya nanti akan saling menyalahkan.
“Sekiranya kamu melihat peristiwa dahsyat ketika orang-orang zalim dihadapkan pada Tuhan mereka sambil mereka saling melem-parkan omongan satu sama lain. Berkata orang-orang yang tertindas kepada mereka yang arogan: Sekiranya tidak karena kamu, tentulah kami termasuk orang-orang yang beriman. Berkata para penguasa arogan kepada orang-orang tertindas: Betulkah kami yang menyimpangkan kamu dari petunjuk setelah petunjuk itu datang kepada kamu? Justru kamu sendiri yang berdosa. Berkata orang-orang yang tertindas kepada penguasa yang arogan: Tidak, bukankah kamu yang membuat rekayasa siang dan malam ketika kalian menguasai kami dengan memerintahkan kami ingkar kepada Tuhan dan mengangkat saingan-saingan Tuhan.
Kedua belah pihak merasakan penyesal-an ketika mereka melihat azab dan kami jadikan belenggu di atas kuduk orang-orang kafir. Mereka tidak dibalas kecuali dengan apa yang mereka kerjakan.
Di depan Tuhan, orang-orang tertindas mengadu kepada Tuhan. Mereka mempersalah-kan para penguasa arogan untuk dosa-dosa mereka. Sebaliknya, para penindas menolak tuduhan itu dengan mengatakan bahwa kebenaran sudah datang kepada mereka. Di sini Al-Quran tidak menjelaskan penindasan dengan cara Marxian, yakni menimpakan semua kesalahan kepada pihak penindas.
Al-Quran tidak membangkitkan kesadar-an kelas. Baik penindas maupun orang tertindas, bertanggung jawab atas sistem yang tidak adil. Penindas bersalah karena arogansinya, kekayaan-nya, dan kekuasaannya. Orang tertindas bersalah karena menerima penindasan itu dengan tidak melakukan perlawanan. Dengan begitu, penindas secara leluasa melanjutkan penindasannya dan orang-orang yang ditindas tidak bangkit menumbangkan sistem yang korup. Para penguasa bebas merancang, merekayasa, mendesain berbagai peristiwa untuk menipu orang-orang tertindas. Pada gilirannya, kaum mustadhafin tak pernah mau berpikir kritis, sehingga dengan mudah digiring ke dalam rekayasa para penindas.”
Inilah penjelasan Al-Quran untuk negara-negara yang hidup dalam sistem yang zalim. Karena kasih sayangnya, Tuhan selalu mengirim-kan para pembaharu, para pemberi peringatan. Sayangnya, kaum mustakbirin menolak mereka dengan membanggakan kekayaan dan para pengikutnya; kaum mustadhafin mencurigai mereka karena rekayasa kaum mustakbirin.
Al-Quran juga menyebutkan, “Dan kami tidak mendatangkan kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan kecuali orang-orang yuang hidup mewah di negeri itu akan berkata kepadanya: Sesungguhnya kami menolak misi kamu. Seraya mereka berkata: Kami lebih banyak kekayaan dan anak buah dari kamu dan kami tidak akan disiksa. Katakan sesungguhnya Tuhanku meluaskan dan menyempitkan rezeki kepada siapa yang dikehendakinya. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Para pemberi peringatan itu dahulu adalah para nabi, yang salah satu tugasnya ialah “…membuang beban-beban yang menghimpit mereka dan melepaskan belenggu-belenggu yang memasung mereka.” (QS. Al-A’raf: 157) Perjuangan kemerdekaan bukan hanya mengusir penjajah asing, atau menghancurkan orang-orang kaya, atau menggantikan satu rezim dengan rezim yang lain. Perjuangan kemerdekaan adalah penciptaan suatu kondisi ketika orang-orang yang kaya dan berkuasa bekerja sama dengan orang miskin dan lemah membangun tatanan sosial yang adil. Kedua pihak berjuang —dalam istilah Al-Quran— “dalam jalan Allah dan jalan mustadhafin.” Dengan begitu, mereka menjadi kelompok yang mengemban misi Ilahi: melindungi dan menyelamatkan bangsa dari sistem yang menindas.
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan di jalan kaum mustadhafin—yakni laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tertindas— yang berkata: Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri yang penduduknya orang zalim. Jadikan bagi kami dari sisi-Mu pelindung dan berilah kami dari sisi-Mu pembela.” (QS. Al-Nisa: 75)
Mereka yang menjerit memohonkan kehadiran kaum pembela itu bukan hanya orang-orang tua kita di zaman Belanda, tetapi juga penduduk Indonesia pada zaman Orla ketika mereka ramai-ramai memuja Soekarno dan menahan lapar demi revolusi; juga bangsa Indonesia pada zaman Orba ketika tanah mereka digusur, anak-anak mereka diculik, dan keamanan hidup mereka diancam; saya takut, juga bangsa Indonesia kini yang memperingati kemerdekaan dengan perut yang lapar, jiwa yang frustasi, dan hati yang mencemaskan hari esok. Pemerintahan berulang kali berganti, tetapi kita masih juga termasuk kaum mustadhafin. []
Kang Jalal Menjawab
Tentang Harakah dan Fase Mekah
Bagaimana Bapak menanggapi maraknya rekrutmen Harakah Darul Islam (DI)? Pada tahun 1977, saya pernah mengikutinya. Komitmennya adalah bergabung selama tujuh tahun. Namun sampai sekarang saya belum pernah keluar dengan maksud untuk tidak memutuskan silaturahim.
Yang saya ketahui, harakah ini janggal. Di antaranya adalah dalil yang menyatakan orang di luar harakah sebagai kafir; boleh mencuri harta orang lain di luar harakah untuk kepentingan harakah; yang diutamakan adalah semangat harakah bukan sentuhan-sentuhan keruhanian; ibadah salat tidak dianggap penting karena sekarang masih berada di Fase Mekah.
Sepanjang yang saya ketahui, para aktivis harakah itu (tanpa mengurangi penghormatan saya kepada mereka) adalah orang-orang yang berniat baik tetapi mereka tidak menemukan jalan yang baik pula.
Orang itu terbagi kepada empat golongan. Pertama, yang berniat benar tetapi jalannya keliru. Kedua, yang berniat keliru tetapi jalannya benar. Ketiga, yang berniat benar dan jalannya juga benar. Keempat, yang berniat keliru dan jalannya pun keliru.
Imam Ali kw pernah berkata kepada kaum Khawarij yang memeranginya, ”Niat kalian benar tetapi jalan kalian keliru.” Saya tidak akan menyebut para pengikut harakah sebagai orang kafir atau batil. Saya hanya akan berkata seperti ucapan Imam Ali di atas.
Lalu apa saja jalan keliru yang ditempuh mereka itu? Di antaranya adalah menganggap orang lain yang berada di luar harakahnya sebagai orang kafir. Kita mau berjuang untuk Islam; tetapi kita mengeluarkan sebagian besar umat Islam dengan menganggap kafir golongan lain. Jelas perjuangan kita tidak akan berhasil. Jika kita ingin berjuang untuk Islam, semestinya kita memasuk-kan orang Islam sebanyak-banyaknya; bukannya mengeluarkan orang Islam, apalagi sampai meng-kafirkannya.
Tujuan dakwah adalah untuk menambah jumlah umat Islam. Meskipun demikian, ada orang-orang yang berdakwah dengan mengurangi jumlah umat Islam. Di antaranya para aktivis harakah itu. Mereka mengurangi jumlah umat Islam secara drastis dengan cara mengkafirkan sesama muslim. Mereka mengurangi umat Islam secara kuantitatif dan secara kualitatif.
Termasuk jalan yang keliru adalah mencuri harta orang lain demi kepentingan harakah. Lalu apa bedanya hal itu dengan pencuri-pencuri lainnya. Orang yang mencuri itu juga adalah demi kepentingan hidupnya sendiri. Bedanya adalah; para pencuri biasa, mencuri tidak dengan menggunakan nama Islam, tetapi para aktivis harakah mencuri dengan menggunakan nama Islam. Betapa malangnya agama Islam karena ia sering digunakan oleh pribadi atau kelompok tertentu sebagai label untuk barang jualan guna melancarkan kepentingan sendiri.
Jalan lain yang keliru adalah meng-anggap salat itu tidak penting dengan alasan kita masih dalam periode Mekah. Padahal ketika Rasulullah saw berdakwah di Mekah, perintah salat sudah turun, seperti yang disebut dalam surat Al-Kautsar ayat 2: Maka dirikanlah salat karena Allah dan berkurbanlah. Di Mekah juga turun ayat lain yang berisi perintah untuk melakukan salat malam: Hai orang yang berselimut, bangunlah untuk salat di malam hari, kecuali sedikit (dari-padanya), yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit (QS. Al-Muzzammil: 1-3). Ayat itu menunjukkan waktu malam yang harus sedikit dipakai untuk tidur dan harus lebih banyak dipakai untuk salat. Jika kita konsisten dengan fase Mekah tersebut, berarti kita salat tidak harus lima waktu; tiga kali pun tidak apa-apa. Tetapi waktu malam harus kita isi dengan salat malam.
Saya tidak yakin apakah kita ini masih dalam fase Mekah. Ada banyak ciri pada fase Mekah yang tidak ada dalam harakah tersebut saat ini. Misalnya, pemimpin pada fase Mekah (yaitu Rasulullah saw) sudah mengungkapkan dirinya sebagai pemimpin dengan terang-terangan. Rasulullah saw hanya tiga tahun berdakwah secara tersembunyi. Bahkan hanya beberapa hari setelah menerima wahyu, Rasulullah saw telah mengum-pulkan keluarganya dan menyatakan dirinya sebagai pemimpin harakah. Pemimpin harakah di saat ini tidak mau berdakwah terang-terangan seperti Rasulullah saw; bahkan ia lebih memilih untuk sembunyi-sembunyi.
Pada dakwah Rasulullah saw di fase Mekah, ada seorang Abu Thalib yang menampak-kan kekafiran tetapi menyembunyikan keislaman-nya. Waktu itu, Abu Thalib adalah penguasa yang dihormati. Beliau memimpin sebuah kabilah dan juga melindungi harakah Rasulullah saw. Pada fase Mekah pun ada seorang Khadijah yang memiliki harta banyak dan digunakan untuk harakah Islam. Dana harakah tidak diambil dari orang miskin. Muhammad saw mengambil harta istrinya untuk digunakan demi kepentingan pengikut harakah. Sementara harakah yang ada sekarang sebaliknya; mengambil harta pengikut untuk digunakan demi kepentingan istrinya. []
a-k
sumber : Prof Jalaluddin Rahmat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar